PELAJARAN 11 – 12 AJARAN SOSIAL GEREJA
Latar Belakang!
Sejak perkembangan industri modern,
massa buruh berjubel di kota-kota besar tanpa jaminan masa depan. Maka, timbullah berbagai masalah sosial baru yang
berat, antara lain masalah upah yang adil,
kepastian tempat kerja, hak mogok, yang pada dasarnya mempertanyakan juga
adil-tidaknya struktur masyarakat itu sendiri.
Dalam abad pertengahan, Gereja
menekankan cinta kasih akan sesama manusia dan kewajiban terhadap masyarakat, antara lain dengan mempermasalahkan upah
adil, larangan mengambil bunga, dan
kutukan atas penghisapan orang pribumi. Namun, semuanya berubah dengan
munculnya revolusi industri, yang
menyebabkan susunan masyarakat goyah dan menghasilkan masalah-masalah sosial baru. Maka sejak abad XIX, teologi moral
mencari jawaban atas perubahan struktur sosial itu, yaitu suatu
ajaran tentang hidup kemasyarakatan modern.
Didukung oleh data-data sosiologi
dan berdasarkan ajaran etika tentang hukum kodrat, dicari norma-norma untuk mengatur hidup kemasyarakatan abad XIX dan XX menurut
nilai-nilai kemanusiaan yang sejati. Situasi
sosial menantang beberapa
tokoh Katolik untuk memikirkan, merealisasikan, dan memperjuangkan suatu pembaharuan sikap dan keadaan.
Kehadiran ajaran sosial
Gereja dapat digambarkan dalam tiga tahap,
yaitu:
1. Ajaran sosial Gereja yang dikembangkan sejak abad XIX merupakan bagian integral dari seluruh pandangan hidup Kristiani. Antara terbitnya Ensiklik Rerum Novarum (1891) dan Ensiklik Mater et Magistra (1961) dikembangkan ajaran sosial klasik yang berkisar pada masalah- masalah keadilan untuk kaum buruh upahan. Keadilan sosial merupakan tuntutan kemanusiaan yang pada intinya bersifat sosial. Maka, kodrat manusia yang sama ini mendasari kewajiban antar-manusia dan antar-golongan. Ajaran sosial Gereja menolak pandangan yang salah tentang masyarakat, yaitu ajaran kapitalisme liberal dan komunisme total. Ajaran sosial Gereja memusatkan perhatian pada penekanan nilai-nilai dasar kehidupan bersama. Titik tolaknya adalah pengertian manusia sebagai makhluk berpribadi dan sekaligus makhluk sosial. Di satu pihak, manusia membutuhkan masyarakat dan hanya dapat berkembang di dalamnya. Di lain pihak, masyarakat yang sungguh manusiawi mustahil terwujud tanpa individu-individu yang berkepribadian kuat, baik, dan penuh tanggung jawab. Masyarakat sehat dicirikan oleh adanya pengakuan terhadap martabat pribadi manusia, kesejahteraan bersama, solidaritas dan subsolidaritas.
2. Mulai dalam Ensiklik Mater et Magistra (1961), Gaudium et Spes (1965), dan Populorum Progressio (1971) dimunculkan tekanan baru pada segi pastoral dan praksis, dimensi internasional dan masalah hak-hak asasi manusi Masalah konkret yang sangat mendesak adalah negara yang sedang berkembang, ledakan penduduk, nilai kerja manusia, diskriminasi rasial, otonomi bidang duniawi dari agama, keahlian profesional. Pada tahap kedua ini, Gereja berjuang untuk membela martabat setiap pribadi manusia dan membangun masyarakat yang manusiawi.
Ajaran sosial Gereja sering terkesan sebagai pedoman yang kaku. Terdorong dan diterangi iman dicari jawaban atas masalah-masalah baru. Ajaran sosial Gereja berkembang, walaupun prinsip-prinsip dasarnya sama. Bila keputusan dan tindakan politik tidak adil, Gereja harus bicara. Melalui pelajaran ini, para siswa dibimbing untuk memahami arti dan sejarah munculnya ajaran sosial Gereja. Kemudian, secara bersama-sama para siswa diajak mencari mengapa ajaran sosial Gereja di Indonesia kurang mendapat sambutan, terutama dari orang-orang Katolik sendiri. Dari sini siswa diajak untuk bersama-sama mencari manfaat yang dapat dipetik dari ajaran sosial Gereja.
Mendalami Keprihatinan dan Ajaran sosial Gereja
BURUH MUDA
Sering kita menghina dan menjauhkan diri dari orang yang kita anggap berdosa. Misalnya, siapa yang mau bergaul dengan seorang WTS. Atau siapa yang mau berkumpul dengan buruh kasar yang sering mengeluarkan kata makian?
Ada satu kota pelabuhan di Prancis Selatan yang para buruh pelabuhannya terkenal kasar dan jorok pada masa itu. Pada suatu hari, datanglah seorang buruh muda yang simpatik bekerja di situ. Walaupun pada permulaan dia ditertawakan oleh para buruh lain sebagai seorang yang sok suci, tetapi akhirnya semua buruh sangat segan dan menghormatinya, karena ia selalu baik dan memperjuangkan nasib para buruh dan tidak terlalu memperhatikan kepentingannya sendiri. Oleh kehadirannya, suasana mesum dan jorok mulai lenyap dari pelabuhan itu.
Pada suatu hari terjadi bencana. Buruh muda yang simpatik itu mati tertindih balok kayu ketika ia sedang membantu sesama buruh membongkar kayu-kayu dari kapal. Semua buruh mengerumuni dan menangisi jenasahnya. Ketika mereka memandikan jenasahnya, mereka melihat ia mengalungi sebuah medali. Di balik medali itu tertulis nama aslinya. Ia seorang Imam! Pada saat itu semua buruh sadar; seorang yang suci dan penyayang telah bergaul dengan mereka yang kasar dan jorok. Tetapi ia telah memenangkan cinta mereka.
AJARAN SOSIAL GEREJA
Sejak perkembangan industri modern, timbullah berbagai masalah sosial baru yang berat, antara lain upah yang adil, kepastian tempat kerja, hak mogok, yang pada dasarnya mempertanyakan juga adil-tidaknya struktur masyarakat itu sendiri.
Supaya tidak tertinggal dari gerakan komunisme yang memperjuangkan nasib kaum buruh, ada imam-imam yang mulai melibatkan diri dalam pastoral kaum buruh seperti imam muda dalam kisah di atas. Kemudian, para Paus pun mulai mengeluarkan ensiklik-ensiklik yang memuat ajaran sosial Gereja.
1.
Arti dan Makna Ajaran
Sosial Gereja
Ajaran sosial Gereja adalah ajaran
Gereja mengenai hak dan kewajiban berbagai anggota masyarakat dalam hubungannya dengan kebaikan bersama,
baik dalam lingkup
nasional maupun internasional.
Ajaran sosial Gereja merupakan
tanggapan Gereja terhadap
fenomena atau persoalan-persoalan yang dihadapi oleh
umat manusia dalam bentuk himbauan, kritik atau dukungan. Ajaran sosial
Gereja bersifat lunak,
bila dibandingkan dengan ajaran Gereja
dalam arti ketat,
yaitu dogma. Dengan
kata lain, ajaran
sosial Gereja merupakan
bentuk
keprihatinan Gereja terhadap dunia dan umat manusia dalam
wujud dokumen yang perlu disosialisasikan.
Karena masalah-masalah yang
dihadapi oleh manusia beragama bervariasi, dan ini dipengaruhi oleh semangat dan kebutuhan
zaman, maka tanggapan Gereja juga bervariasi
sesuai dengan isu sosial yang muncul.
2.
Ensiklik-Ensiklik dan Dokumen Konsili
Vatikan II yang Memuat Ajaran
Sosial Gereja Sepanjang Masa
a. Ajaran sosial Gereja dari Rerun Novarum sampai dengan Konsili Vatikan II
Ajaran sosial Gereja dalam dunia
modern berawal dari tahun 1981, ketika Paus Leo XIII mengeluarkan ensiklik Rerun
Novarum. Dalam ensiklik itu Paus dengan tegas menentang kondisi-kondisi yang tidak manusiawi yang menjadi
situasi buruk bagi kaum buruh dalam
masyarakat industri. Paus menyatakan 3 faktor kunci yang mendasari kehidupan ekonomi, yaitu para buruh, modal, dan negara. Paus juga
menunjukkan bahwa saling hubungan
yang wajar dan adil antara tiga hal itu menjadi masalah pokok ajaran
sosial Gereja.
Pada tahun 1931,
pada peringatan ke-40 tahun Rerun Novarum, Paus Pius XI menulis ensiklik Quadragesimo Anno. Dalam
ensiklik itu, Paus Pius XI menanggapi masalah-masalah ketidakadilan sosial dan mengajak
semua pihak untuk mengatur kembali tatanan sosial berdasarkan apa
yang telah ditunjukkan oleh Paus Leo XIII dalam Rerum Novarum.
Paus Pius XI menegaskan kembali hak
dan kewajiban Gereja dalam menanggapi masalah-masalah
sosial, mengecam kapitalisme dan persaingan bebas serta komunisme yang menganjurkan pertentangan kelas dan pendewaan
kepemimpinan kediktatoran kelas buruh. Paus menegaskan perlunya
tanggung jawab sosial dari milik pribadi dan
hak-hak kaum buruh atas kerja, upah yang adil, serta berserikat guna
melindungi hak- hak mereka.
Tiga puluh tahun kemudian,
Paus Yohanes XXIII menulis dua ensiklik untuk menanggapi
masalah-masalah pokok zamannya, yaitu Mater
et Magistra (1961) dan Pacem in Terris (1963). Dalam dua
ensiklik ini, Paus Yohanes XXIII menyampaikan
sejumlah petunjuk bagi umat Kristiani dan para pengambil kebijakan dalam
menghadapi kesenjangan di antara
bangsa-bangsa yang kaya dan miskin, dan ancaman terhadap perdamaian dunia. Paus mengajak orang-orang Kristiani dan “semua orang yang berkehendak
baik” bekerja sama menciptakan lembaga-lembaga sosial (lokal, nasional, ataupun
internasional), sekaligus menghargai martabat manusia dan menegakkan keadilan
serta perdamaian.
b. Ajaran sosial Gereja sesudah Konsili Vatikan II
Ketika Paus Yohanes
XXIII mengadakan Konsili Vatikan II dalam bulan Oktober 1962, dia membuka
jendela Gereja agar masuk udara segar dunia modern. Konsili
ekumenis yang ke-21 inilah yang
pertama kali merefleksikan Gereja yang sungguh- sungguh mendunia. Selama tiga tahun, para kardinal dan para
uskup dari berbagai dunia dan hampir semua bangsa berkumpul untuk mendiskusikan hakikat
Gereja dan perutusannya ke dunia serta di dalam dunia. Tugas perutusan Gereja dalam dunia
modern ini termuat dalam Konstitusi
Pastoral Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Harapan).
Dalam Gaudium
et Spes ini, para bapa konsili
meneguhkan bahwa perutusan khas
religius Gereja memberinya tugas, terang, dan kekuatan yang dapat membantu pembentukan dan pemantapan masyarakat manusia menurut hukum Ilahi. Keadaan,
waktu, dan tempat menuntut agar Gereja dapat dan bahkan harus memulai
kegiatan sosial demi semua orang.
Sejak Konsili Vatikan II,
pernyataan-pernyataan Paus Paulus VI dan Yohanes Paulus II, sinode para uskup dan konperensi-konperensi para uskup
regional maupun nasional semakin mempertajam peranan Gereja dalam tanggung jawab terhadap dunia yang sedang berubah dengan pesat ini. Kedua
paus dan para uskup itu sepenuhnya sadar bawah mencari
kehendak Allah dalam arus sejarah
dunia bukanlah tugas yang sederhana. Mereka juga menyadari bahwa
Gereja tidak mempunyai pemecahan yang langsung
dan secara universal dapat memecahkan masalah-masalah masyarakat yang kompleks
dan semakin mendesak.
Ada tiga dokumen
yang secara khusus memberi sumbangan
Gereja mengenai tanggung
jawab itu:
– Dalam dokumen
Populorum Progressio (1967), Paus Paulus VI menanggapi jeritan kemiskinan dan kelaparan dunia, menunjukkan adanya ketidakadilan struktural. Ia menghimbau negara-negara
kaya maupun miskin agar bekerja sama dalam semangat solidaritas untuk membangun “tata keadilan dan membaharui tata dunia”.
–
Dokumen
kedua berupa surat apostolik Octogesimo Adveniens yang ditulis oleh
Paus Paulus VI tahun 1971 untuk merayakan 80 tahun dokumen Rerum Novarum. Dalam surat ini diketengahkan bahwa kesulitan menciptakan
tatanan baru melekat dalam proses
pembangunan tatanan itu sendiri. Paus Paulus VI sekaligus menegaskan peranan
jemaat-jemaat Kristiani dalam mengemban tanggung
jawab baru ini.
–
Pada tahun
itu juga, para uskup dari seluruh dunia berkumpul dalam sinode dan menyiapkan
pernyataan keadilan di dalam dunia. Dalam dokumen ketiga yang membeberkan pengaruh Gereja yang mendunia,
para uskup mengidentifikasikan dinamika
Injil dengan harapan-harapan manusia akan dunia yang lebih baik. Para uskup
mendesak agar keadilan
diusahakan di berbagai
lapisan masyarakat, terutama di antara bangsa-bangsa kaya dan
kuat, serta bangsa-bangsa yang miskin dan lemah.
Dalam tahun 1981,
Paus Yohanes Paulus II, mengeluarkan ensiklik yang berjudul Laborem
Exercens. Ensiklik ini membahas makna kerja manusia.
Manusia dengan bekerja mengembangkan karya Allah dan
memberi sumbangan bagi terwujudnya rencana
penyelamatan Allah dalam sejarah. Tenaga kerja harus lebih diutamakan daripada model dan teknologi.
Dalam ensiklik
Sallicitudo Rei Socialis
(1987), Paus Yohanes Paulus
II mengangkat kembali tentang pembangunan yang
mengeksploitasi orang-orang kecil. Beliau berbicara tentang struktur-struktur dosa yang membelenggu masyarakat
Dalam ensiklik Contessimus
Annus (1991), Paus Yohanes
Paulus II mengungkapkan bahwa Gereja hendaknya terus belajar untuk bergumul dengan
soal-soal sosial.
Mendalami dan Menyadari Pengamalan Ajaran Sosial Gereja
di Indonesia
Kritik Pdt. Fridalin Ukur kiranya ada benarnya. Keprihatinan Gereja-Gereja terhadap orang-orang miskin di Indonesia, rasanya belum terlalu kuat. Khusus untuk umat Katolik, mungkin saja ajaran-ajaran sosial Gereja belum terlalu dipahami dan diamalkan. Mengapa?
Pertama, Penampilan Gereja di Indonesia lebih merupakan penampilan ibadat daripada penampilan gerakan sosial. Seandainya ada penampilan sosial, hal itu tidak merupakan penampilan utama. Penampilan sosial yang ada sampai sekarang merupakan penampilan sosial karitatif, seperti membantu yang miskin, mencarikan pekerjaan bagi pengangguran, dan sebagainya. Demikian juga, mereka yang datang ke gereja adalah orang-orang yang telah menjadi puas bila dipenuhi kebutuhan pribadinya dengan kegiatan ibadat atau sudah cukup senang dengan memberi dana sejumlah uang bagi mereka yang sengsara. Namun, mencari sebab-sebab mengapa ada pengemis, mengapa ada pengangguran belum dianggap sebagai hal yang berhubungan dengan iman.
Padahal, kita tahu ajaran sosial Gereja lebih mengundang kita untuk tidak merasa kasihan kepada para korban, tetapi mencari sebab-sebab mengapa terjadi korban dan mencari siapa penyebabnya. Mungkin saja bahwa penyebabnya adalah orang-orang yang mengaku beriman Katolik itu sendiri.
Kedua, Warga Gereja Katolik yang hidup kecukupan tidak termasuk di dalam kelompok orang-orang yang benar-benar menderita. Kalaupun ada orang Katolik yang begitu prihatin pada korban, mereka tetap berada sebagai orang lain daripada yang menjadi korban itu sendiri. Mereka merasa tidak terlibat.
Ketiga, Ada orang-orang Katolik yang begitu sadar akan “kekecilannya”, mereka sering berucap: “Kami hanya minoritas….” Kesadaran minoritas itu lebih banyak digunakan untuk tidak berbuat. Itu berarti bahwa kesadaran tersebut digunakan untuk mencari alasan untuk tidak mengadakan perubahan, memaksa diri puas dengan apa yang telah dicapai.
Karena merasa kecil, maka kita tergoda untuk mencari aman pada yang kuat. Dengan demikian, jelas betapa sulitnya untuk melaksanakan ajaran sosial Gereja bila yang dianggap kuat itu justru menjadi penyebab munculnya korban-korban tata sosial yang ada.
Keempat, Karena perkara sosial dijadikan ajaran, maka perkara-perkara sosial tersebut baru menjadi bahan tertulis yang dapat dipelajari, diketahui, dipahami, dipuji, dijadikan bahan seminar, atau dicita-citakan. Padahal, perkara-perkara sosial itu baru memiliki arti jika sudah sampai pada tahap pelaksanaan.
Pendalaman tentang Ajaran
Sosial
Membaca dan mendengarkan kisah kecil berikut ini:
NELLY GADIS MISKIN
Nelly adalah seorang gadis kecil
yang berpakaian compang-camping. Ia gadis jalanan yang selalu mengemis pada lampu merah di depan sebuah
gereja. Kadang-kadang ia mengemis di pintu gerbang kompleks gereja
kalau umatnya sedang keluar gereja. Ia tinggal
dengan neneknya di bawah kolong jembatan, tidak jauh dari gereja itu. Pada suatu
hari, Nelly melintas lagi di kompleks gereja itu. Hari itu rupanya ada bazaar
di halaman gereja. Di sana dijual
berbagai jenis pakaian dan makanan murah. Tetapi yang paling menarik minat dan selera Nelly adalah tempat dijual
berbagai jenis kue basah dan kue kering. Ia tidak memiliki uang sepeser pun dan dia sangat merasa lapar. Setiap kali ia memandang ke kue-kue itu rasa
laparnya seperti melilit-lilit. Ia mencoba mendekat, sekedar untuk dapat
melihat lebih jelas.
Beberapa orang menepi
dan menutup hidung.
Dan penjaga bazaar
itu pun menghardiknya: “Kamu lihat apa? Sana, pergi!”
Nelly tidak perlu menunggu hardikan
yang kedua kalinya. Ia cepat-cepat menyelinap
pergi, ia takut. Ia pulang ke kolong jembatan dan tidur. Tidur adalah
satu-satunya yang dia tidak perlu
beli. Tidur dapat melupakan rasa lapar, tidur dapat melupakan segala kemalangan. Tidur dapat membuat dia bermimpi
tentang istana, makanan enak, dan pakaian yang mewah. Antara terjaga dan tidur,
ia mendengar sayup-sayup umat Katolik di
gereja bernyanyi lagu yang sering dia dengar dan sudah sedikit dia hafal: “Tuhanku dan Gembalaku ”
Seandainya kamu berada di halaman
gereja itu dan melihat apa yang terjadi dengan
Nelly, tindakan apa yang akan kamu buat? Ingat, sesuai dengan ajaran
sosial Gereja, tindakanmu tidak boleh
bersifat karitatif melulu, tetapi kamu harus menghargai gadis miskin
itu sebagai manusia yang bermartabat!
Soal Latihan
- Apa bedanya perjuangan Gereja dan perjuangan kaum komunis dalam membantu para buruh?
- Mana yang lebih penting: modal, teknologi, atau buruh!? Mengapa?