Selasa, 29 Juni 2021

Ajaran Sosial Gereja

 PELAJARAN 11 – 12  AJARAN SOSIAL GEREJA


 

Latar Belakang!

Sejak perkembangan industri modern, massa buruh berjubel di kota-kota besar tanpa jaminan masa depan. Maka, timbullah berbagai masalah sosial baru yang berat, antara lain masalah upah yang adil, kepastian tempat kerja, hak mogok, yang pada dasarnya mempertanyakan juga adil-tidaknya struktur masyarakat itu sendiri.

Dalam abad pertengahan, Gereja menekankan cinta kasih akan sesama manusia dan kewajiban terhadap masyarakat, antara lain dengan mempermasalahkan upah adil, larangan mengambil bunga, dan kutukan atas penghisapan orang pribumi. Namun, semuanya berubah dengan munculnya revolusi industri, yang menyebabkan susunan masyarakat goyah dan menghasilkan masalah-masalah sosial baru. Maka sejak abad XIX, teologi moral mencari jawaban atas perubahan struktur sosial itu, yaitu suatu ajaran tentang hidup kemasyarakatan modern.

Didukung oleh data-data sosiologi dan berdasarkan ajaran etika tentang hukum kodrat, dicari norma-norma untuk mengatur hidup kemasyarakatan abad XIX dan XX menurut nilai-nilai kemanusiaan yang sejati. Situasi sosial menantang beberapa tokoh Katolik untuk memikirkan, merealisasikan, dan memperjuangkan suatu pembaharuan sikap dan keadaan.

Kehadiran ajaran sosial Gereja dapat digambarkan dalam tiga tahap, yaitu:

1. Ajaran sosial Gereja yang dikembangkan sejak abad XIX merupakan bagian integral dari seluruh pandangan hidup Kristiani. Antara terbitnya Ensiklik Rerum Novarum (1891) dan Ensiklik Mater et Magistra (1961) dikembangkan ajaran sosial klasik yang berkisar pada masalah- masalah keadilan untuk kaum buruh upahan. Keadilan sosial merupakan tuntutan kemanusiaan yang pada intinya bersifat sosial. Maka, kodrat manusia yang sama ini mendasari kewajiban antar-manusia dan antar-golongan. Ajaran sosial Gereja menolak pandangan yang salah tentang masyarakat, yaitu ajaran kapitalisme liberal dan komunisme total. Ajaran sosial Gereja memusatkan perhatian pada penekanan nilai-nilai dasar kehidupan bersama. Titik tolaknya adalah pengertian manusia sebagai makhluk berpribadi dan sekaligus makhluk sosial. Di satu pihak, manusia membutuhkan masyarakat dan hanya dapat berkembang di dalamnya. Di lain pihak, masyarakat yang sungguh manusiawi mustahil terwujud tanpa individu-individu yang berkepribadian kuat, baik, dan penuh tanggung jawab. Masyarakat sehat dicirikan oleh adanya pengakuan terhadap martabat pribadi manusia, kesejahteraan bersama, solidaritas dan subsolidaritas.

2.  Mulai dalam Ensiklik Mater et Magistra (1961), Gaudium et Spes (1965), dan Populorum Progressio (1971) dimunculkan tekanan baru pada segi pastoral dan praksis, dimensi internasional dan masalah hak-hak asasi manusi Masalah konkret yang sangat mendesak adalah negara yang sedang berkembang, ledakan penduduk, nilai kerja manusia, diskriminasi rasial, otonomi bidang duniawi dari agama, keahlian profesional. Pada tahap kedua ini, Gereja berjuang untuk membela martabat setiap pribadi manusia     dan membangun masyarakat yang manusiawi.


Ajaran sosial Gereja sering terkesan sebagai pedoman yang kaku. Terdorong dan diterangi iman dicari jawaban atas masalah-masalah baru. Ajaran sosial Gereja berkembang, walaupun prinsip-prinsip dasarnya sama. Bila keputusan dan tindakan politik tidak adil, Gereja harus bicara. Melalui pelajaran ini, para siswa dibimbing untuk memahami arti dan sejarah munculnya ajaran sosial Gereja. Kemudian, secara bersama-sama para siswa diajak mencari mengapa ajaran sosial Gereja di Indonesia kurang mendapat sambutan, terutama dari orang-orang Katolik sendiri. Dari sini siswa diajak untuk bersama-sama mencari manfaat yang dapat dipetik dari ajaran sosial Gereja.

 

Mendalami Keprihatinan dan Ajaran sosial Gereja

BURUH MUDA

Sering kita menghina dan menjauhkan diri dari orang yang kita anggap berdosa. Misalnya, siapa yang mau bergaul dengan seorang WTS. Atau siapa yang mau berkumpul dengan buruh kasar yang sering mengeluarkan kata makian?

Ada satu kota pelabuhan di Prancis Selatan yang para buruh pelabuhannya terkenal kasar dan jorok pada masa itu. Pada suatu hari, datanglah seorang buruh muda yang simpatik bekerja di situ. Walaupun pada permulaan dia ditertawakan oleh para buruh lain sebagai seorang yang sok suci, tetapi akhirnya semua buruh sangat segan dan menghormatinya, karena ia selalu baik dan memperjuangkan nasib para buruh dan tidak terlalu memperhatikan kepentingannya sendiri. Oleh kehadirannya, suasana mesum dan jorok mulai lenyap dari pelabuhan itu.

Pada suatu hari terjadi bencana. Buruh muda yang simpatik itu mati tertindih balok kayu ketika ia sedang membantu sesama buruh membongkar kayu-kayu dari kapal. Semua buruh mengerumuni dan menangisi jenasahnya. Ketika mereka memandikan jenasahnya, mereka melihat ia mengalungi sebuah medali. Di balik medali itu tertulis nama aslinya. Ia seorang Imam! Pada saat itu semua buruh sadar; seorang yang suci dan penyayang telah bergaul dengan mereka yang kasar dan jorok. Tetapi ia telah memenangkan cinta mereka.

 

AJARAN SOSIAL GEREJA

Sejak perkembangan industri modern, timbullah berbagai masalah sosial baru yang berat, antara lain upah yang adil, kepastian tempat kerja, hak mogok, yang pada dasarnya mempertanyakan juga adil-tidaknya struktur masyarakat itu sendiri.

Supaya tidak tertinggal dari gerakan komunisme yang memperjuangkan nasib kaum buruh, ada imam-imam yang mulai melibatkan diri dalam pastoral kaum buruh seperti imam muda dalam kisah di atas. Kemudian, para Paus pun mulai mengeluarkan ensiklik-ensiklik yang memuat ajaran sosial Gereja.

1.    Arti dan Makna Ajaran Sosial Gereja

Ajaran sosial Gereja adalah ajaran Gereja mengenai hak dan kewajiban berbagai anggota masyarakat dalam hubungannya dengan kebaikan bersama, baik dalam lingkup nasional maupun internasional.

Ajaran sosial Gereja merupakan tanggapan Gereja terhadap fenomena atau persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat manusia dalam bentuk himbauan, kritik atau dukungan. Ajaran sosial Gereja bersifat lunak, bila dibandingkan dengan ajaran Gereja dalam arti ketat, yaitu dogma. Dengan kata lain, ajaran sosial Gereja merupakan bentuk


keprihatinan Gereja terhadap dunia dan umat manusia dalam wujud dokumen yang perlu disosialisasikan.

Karena masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia beragama bervariasi, dan ini dipengaruhi oleh semangat dan kebutuhan zaman, maka tanggapan Gereja juga bervariasi sesuai dengan isu sosial yang muncul.

 

2.   Ensiklik-Ensiklik dan Dokumen Konsili Vatikan II yang Memuat Ajaran Sosial Gereja Sepanjang Masa

 

a.     Ajaran sosial Gereja dari Rerun Novarum sampai dengan Konsili Vatikan II

Ajaran sosial Gereja dalam dunia modern berawal dari tahun 1981, ketika Paus Leo XIII mengeluarkan ensiklik Rerun Novarum. Dalam ensiklik itu Paus dengan tegas menentang kondisi-kondisi yang tidak manusiawi yang menjadi situasi buruk bagi kaum buruh dalam masyarakat industri. Paus menyatakan 3 faktor kunci yang mendasari kehidupan ekonomi, yaitu para buruh, modal, dan negara. Paus juga menunjukkan bahwa saling hubungan yang wajar dan adil antara tiga hal itu menjadi masalah pokok ajaran sosial Gereja.

Pada tahun 1931, pada peringatan ke-40 tahun Rerun Novarum, Paus Pius XI menulis ensiklik Quadragesimo Anno. Dalam ensiklik itu, Paus Pius XI menanggapi masalah-masalah ketidakadilan sosial dan mengajak semua pihak untuk mengatur kembali tatanan sosial berdasarkan apa yang telah ditunjukkan oleh Paus Leo XIII dalam Rerum Novarum.

Paus Pius XI menegaskan kembali hak dan kewajiban Gereja dalam menanggapi masalah-masalah sosial, mengecam kapitalisme dan persaingan bebas serta komunisme yang menganjurkan pertentangan kelas dan pendewaan kepemimpinan kediktatoran kelas buruh. Paus menegaskan perlunya tanggung jawab sosial dari milik pribadi dan hak-hak kaum buruh atas kerja, upah yang adil, serta berserikat guna melindungi hak- hak mereka.

Tiga puluh tahun kemudian, Paus Yohanes XXIII menulis dua ensiklik untuk menanggapi masalah-masalah pokok zamannya, yaitu Mater et Magistra (1961) dan Pacem in Terris (1963). Dalam dua ensiklik ini, Paus Yohanes XXIII menyampaikan sejumlah petunjuk bagi umat Kristiani dan para pengambil kebijakan dalam menghadapi kesenjangan di antara bangsa-bangsa yang kaya dan miskin, dan ancaman terhadap perdamaian dunia. Paus mengajak orang-orang Kristiani dan “semua orang yang berkehendak baik” bekerja sama menciptakan lembaga-lembaga sosial (lokal, nasional, ataupun internasional), sekaligus menghargai martabat manusia dan menegakkan keadilan serta perdamaian.

 

b.     Ajaran sosial Gereja sesudah Konsili Vatikan II

Ketika Paus Yohanes XXIII mengadakan Konsili Vatikan II dalam bulan Oktober 1962, dia membuka jendela Gereja agar masuk udara segar dunia modern. Konsili ekumenis yang ke-21 inilah yang pertama kali merefleksikan Gereja yang sungguh- sungguh mendunia. Selama tiga tahun, para kardinal dan para uskup dari berbagai dunia dan hampir semua bangsa berkumpul untuk mendiskusikan hakikat Gereja dan perutusannya ke dunia serta di dalam dunia. Tugas perutusan Gereja dalam dunia modern ini termuat dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Harapan). Dalam Gaudium et Spes ini, para bapa konsili meneguhkan bahwa perutusan khas religius Gereja memberinya tugas, terang, dan kekuatan yang dapat membantu pembentukan dan pemantapan masyarakat manusia menurut hukum Ilahi. Keadaan, waktu, dan tempat menuntut agar Gereja dapat dan bahkan harus memulai kegiatan sosial demi semua orang.


Sejak Konsili Vatikan II, pernyataan-pernyataan Paus Paulus VI dan Yohanes Paulus II, sinode para uskup dan konperensi-konperensi para uskup regional maupun nasional semakin mempertajam peranan Gereja dalam tanggung jawab terhadap dunia yang sedang berubah dengan pesat ini. Kedua paus dan para uskup itu sepenuhnya sadar bawah mencari kehendak Allah dalam arus sejarah dunia bukanlah tugas yang sederhana. Mereka juga menyadari bahwa Gereja tidak mempunyai pemecahan yang langsung dan secara universal dapat memecahkan masalah-masalah masyarakat yang kompleks dan semakin mendesak. Ada tiga dokumen yang secara khusus memberi sumbangan Gereja mengenai tanggung jawab itu:

    Dalam dokumen Populorum Progressio (1967), Paus Paulus VI menanggapi jeritan kemiskinan dan kelaparan dunia, menunjukkan adanya ketidakadilan struktural. Ia menghimbau negara-negara kaya maupun miskin agar bekerja sama dalam semangat solidaritas untuk membangun “tata keadilan dan membaharui tata dunia”.

        Dokumen kedua berupa surat apostolik Octogesimo Adveniens yang ditulis oleh Paus Paulus VI tahun 1971 untuk merayakan 80 tahun dokumen Rerum Novarum. Dalam surat ini diketengahkan bahwa kesulitan menciptakan tatanan baru melekat dalam proses pembangunan tatanan itu sendiri. Paus Paulus VI sekaligus menegaskan peranan jemaat-jemaat Kristiani dalam mengemban tanggung jawab baru ini.

        Pada tahun itu juga, para uskup dari seluruh dunia berkumpul dalam sinode dan menyiapkan pernyataan keadilan di dalam dunia. Dalam dokumen ketiga yang membeberkan pengaruh Gereja yang mendunia, para uskup mengidentifikasikan dinamika Injil dengan harapan-harapan manusia akan dunia yang lebih baik. Para uskup mendesak agar keadilan diusahakan di berbagai lapisan masyarakat, terutama di antara bangsa-bangsa kaya dan kuat, serta bangsa-bangsa yang miskin dan lemah.

Dalam tahun 1981, Paus Yohanes Paulus II, mengeluarkan ensiklik yang berjudul Laborem Exercens. Ensiklik ini membahas makna kerja manusia. Manusia dengan bekerja mengembangkan karya Allah dan memberi sumbangan bagi terwujudnya rencana penyelamatan Allah dalam sejarah. Tenaga kerja harus lebih diutamakan daripada model dan teknologi.

Dalam ensiklik Sallicitudo Rei Socialis (1987), Paus Yohanes Paulus II mengangkat kembali tentang pembangunan yang mengeksploitasi orang-orang kecil. Beliau berbicara tentang struktur-struktur dosa yang membelenggu masyarakat

Dalam ensiklik Contessimus Annus (1991), Paus Yohanes Paulus II mengungkapkan bahwa Gereja hendaknya terus belajar untuk bergumul dengan soal-soal sosial.

 

Mendalami dan Menyadari Pengamalan Ajaran Sosial Gereja di Indonesia

 AJARAN SOSIAL GEREJA DI INDONESIA

Kritik Pdt. Fridalin Ukur kiranya ada benarnya. Keprihatinan Gereja-Gereja terhadap orang-orang miskin di Indonesia, rasanya belum terlalu kuat. Khusus untuk umat Katolik, mungkin saja ajaran-ajaran sosial Gereja belum terlalu dipahami dan diamalkan. Mengapa?


Pertama, Penampilan Gereja di Indonesia lebih merupakan penampilan ibadat daripada penampilan gerakan sosial. Seandainya ada penampilan sosial, hal itu tidak merupakan penampilan utama. Penampilan sosial yang ada sampai sekarang merupakan penampilan sosial karitatif, seperti membantu yang miskin, mencarikan pekerjaan bagi pengangguran, dan sebagainya. Demikian juga, mereka yang datang ke gereja adalah orang-orang yang telah menjadi puas bila dipenuhi kebutuhan pribadinya dengan kegiatan ibadat atau sudah cukup senang dengan memberi dana sejumlah uang bagi mereka yang sengsara. Namun, mencari sebab-sebab mengapa ada pengemis, mengapa ada pengangguran belum dianggap sebagai hal yang berhubungan dengan iman.

Padahal, kita tahu ajaran sosial Gereja lebih mengundang kita untuk tidak merasa kasihan kepada para korban, tetapi mencari sebab-sebab mengapa terjadi korban dan mencari siapa penyebabnya. Mungkin saja bahwa penyebabnya adalah orang-orang yang mengaku beriman Katolik itu sendiri.

Kedua, Warga Gereja Katolik yang hidup kecukupan tidak termasuk di dalam kelompok orang-orang yang benar-benar menderita. Kalaupun ada orang Katolik yang begitu prihatin pada korban, mereka tetap berada sebagai orang lain daripada yang menjadi korban itu sendiri. Mereka merasa tidak terlibat.

Ketiga, Ada orang-orang Katolik yang begitu sadar akan “kekecilannya”, mereka sering berucap: “Kami hanya minoritas….” Kesadaran minoritas itu lebih banyak digunakan untuk tidak berbuat. Itu berarti bahwa kesadaran tersebut digunakan untuk mencari alasan untuk tidak mengadakan perubahan, memaksa diri puas dengan apa yang telah dicapai.

Karena merasa kecil, maka kita tergoda untuk mencari aman pada yang kuat. Dengan demikian, jelas betapa sulitnya untuk melaksanakan ajaran sosial Gereja bila yang dianggap kuat itu justru menjadi penyebab munculnya korban-korban tata sosial yang ada.

Keempat, Karena perkara sosial dijadikan ajaran, maka perkara-perkara sosial tersebut baru menjadi bahan tertulis yang dapat dipelajari, diketahui, dipahami, dipuji, dijadikan bahan seminar, atau dicita-citakan. Padahal, perkara-perkara sosial itu baru memiliki arti jika sudah sampai pada tahap pelaksanaan.

 

Pendalaman tentang Ajaran Sosial

Membaca dan mendengarkan kisah kecil berikut ini:

NELLY GADIS MISKIN

Nelly adalah seorang gadis kecil yang berpakaian compang-camping. Ia gadis jalanan yang selalu mengemis pada lampu merah di depan sebuah gereja. Kadang-kadang ia mengemis di pintu gerbang kompleks gereja kalau umatnya sedang keluar gereja. Ia tinggal dengan neneknya di bawah kolong jembatan, tidak jauh dari gereja itu. Pada suatu hari, Nelly melintas lagi di kompleks gereja itu. Hari itu rupanya ada bazaar di halaman gereja. Di sana dijual berbagai jenis pakaian dan makanan murah. Tetapi yang paling menarik minat dan selera Nelly adalah tempat dijual berbagai jenis kue basah dan kue kering. Ia tidak memiliki uang sepeser pun dan dia sangat merasa lapar. Setiap kali ia memandang ke kue-kue itu rasa laparnya seperti melilit-lilit. Ia mencoba mendekat, sekedar untuk dapat melihat lebih jelas. Beberapa orang menepi dan menutup hidung. Dan penjaga bazaar itu pun menghardiknya: “Kamu lihat apa? Sana, pergi!”

Nelly tidak perlu menunggu hardikan yang kedua kalinya. Ia cepat-cepat menyelinap pergi, ia takut. Ia pulang ke kolong jembatan dan tidur. Tidur adalah satu-satunya yang dia tidak perlu beli. Tidur dapat melupakan rasa lapar, tidur dapat melupakan segala kemalangan. Tidur dapat membuat dia bermimpi tentang istana, makanan enak, dan pakaian yang mewah. Antara terjaga dan tidur, ia mendengar sayup-sayup umat Katolik di gereja bernyanyi lagu yang sering dia dengar dan sudah sedikit dia hafal: “Tuhanku dan Gembalaku

 

Seandainya kamu berada di halaman gereja itu dan melihat apa yang terjadi dengan Nelly, tindakan apa yang akan kamu buat? Ingat, sesuai dengan ajaran sosial Gereja, tindakanmu tidak boleh bersifat karitatif melulu, tetapi kamu harus menghargai gadis miskin itu sebagai manusia yang bermartabat!

 

Soal Latihan

  1. Apa bedanya perjuangan Gereja dan perjuangan kaum komunis dalam membantu para buruh?
  2. Mana yang lebih penting: modal, teknologi, atau buruh!? Mengapa?