Bencana banjir, tanah longsor,
kelaparan, kepadatan penduduk dan perumahan yang kumuh, wabah berbagai macam
penyakit, sepertinya menjadi berita yang amat kerap kita dengar. Rupanya
keutuhan alam ciptaan Tuhan sudah mengalami kerusakan yang sedemikian parah.
Setiap tahun berbagai jenis
tumbuhan dan hewan masuk dalam daftar perlindungan karena hampir punah,
perubahan musim kini makin tidak menentu, kicauan aneka burung sudah jarang
terdengar di alam bebas, dan
kualitas kesehatan manusia makin berkurang karena polusi dan
berbagai limbah. Alam ciptaan saat ini seolah berwajah ganda. Di satu pihak
manusia membutuhkan dan tergantung dari padanya, tetapi di lain pihak juga
menjadi ancaman bagi manusia.
Siapa yang salah? Tuhan atau
manusia? Apakah semua manusia bersalah? Faktor penyebab yang utama adalah
egoisme dan keserakahan sebagian manusia yang memanfaatkan dan mengolah alam
hanya demi keuntungan diri dan keluarga atau kelompok, tanpa berfikir soal
kesejahteraan manusia kebanyakan dan tanpa berfikir bahwa generasi manusia
berikutnya juga berhak menikmati ciptaan Tuhan yang baik adanya. Tetapi semua
manusia juga dapat dianggap ikut bersalah bilamana ia tidak peduli terhadap perusakan
yang terjadi, membiarkan orang-orang egois dan serakah tersebut tetap pada
tindakannya.
Yang penting bukan mencari
kambing hitam untuk menyalahkan, melainkan perlunya setiap orang merefleksikan
kembali apa yang sesungguhnya ditugaskan oleh Allah kepada dirinya. Untuk itu,
kita harus kembali pada landasan Kitab Suci.
BELAJAR DARI KITAB SUCI
Kejadian 1: 26-30
26 Berfirmanlah Allah: “Baiklah
kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa
atas ikan-ikan di laut dan burungburung di udara dan atas ternak dan atas
seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” 27 Maka
Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah
diciptakan-Nya dia: laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. 28 Allah
memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan
bertambahlah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas
ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang
merayap di bumi.” 29 Berfirmanlah Allah: “Lihatlah, Aku memberikan kepadamu
segala tumbuhtumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan
yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu. 30 Tetapi kepada segala
binatang di bumi dan segala burung di udara dan segala yang merayap di bumi,
yang bernyawa, Kuberikan segala tumbuhtumbuhan hijau menjadi makanannya.” Dan
jadilah demikian.
Kitab Suci menegaskan keluhuran
martabat manusia sebagai citra Allah. Sebagai citra Allah, manusia dipanggil dan
diberi tugas untuk: beranakcucu dan bertambah banyak; memenuhi bumi dan
menaklukkannya; dan menguasai ciptaan Allah lainnya (Kej. 1: 26-30). Panggilan
yang agung itu perlu ditempatkan dalam konteks keselamatan yang dikehendaki
Allah sendiri, yakni keselamatan secara utuh dan terpadu (integral), tidak
hanya menyangkut diri sendiri, tetapi juga erat kaitannya dengan ciptaan Allah
lainnya. Oleh karena itu, manusia tidak dapat bersikap sewenang-wenang atas
kuasa dan tugas yang diberikan Allah itu.
Kuasa yang diberikan Allah itu
sifatnya terbatas. Manusia tidak dapat menjalankan tugasnya melebihi kekuasaan
dan batasan yang diberikan oleh Allah. Manusia perlu menjalankan tugas secara
bijak dan demi kemuliaan Allah serta kebahagiaan manusia sendiri. Maka
sesungguhnya egoisme, keserakahan dan sikap acuh tak acuh terhadap kerusakan
ciptaan Tuhan menjadi musuh utama kita.
Saatnya kita mulai mengembangkan
ketaatan kepada Allah, sikap bertanggung jawab dan berupaya menampilkan kecitraan
Allah sendiri sebagai Pencipta dan Pemelihara melalui kata dan perbuatan, bukan
dengan sikap yang menghancurkan dan menguasai. Hal tersebut dapat dimulai
dengan melakukan hal-hal kecil, seperti menanam bunga di rumah, gerakan
penghijauan, dan memperbaiki perumahan kumuh.