BAHAN PTS PENDIDIKAN AGAMA KELS 9
Senin, 19 Juli 2021
Rabu, 14 Juli 2021
TINDAKAN BERMORAL
TINDAKAN BERMORAL
FX. Dapiyanta*
Semakin
Menjadi Manusiawi
Teologi
Moral Masa Kini
*USD
Yogyakarta
A.
PENDAHULUAN
Wacana mengenai tindakan moral dibagi
dalam dua bagian pokok, yakni tindakan bermoral
secara umum dan tindakan bermoral
khusus. Tindakan bermoral
secara umum memiliki
pertanyaan dasar yakni manakah tindakan
yang disebut baik dan
manakah tindakan yang disebut buruk atau jahat? Adapun tindakan bermoral khusus membicarakan tindakan baik atau jahat pada permasalahan khusus, misalnya pada
permasalahan hidup, sosial ekonomi, pekerjaan, keluarga, dan
sebagainya.
Pada
bagian ini hanya akan dibahas
mengenai tindakan bermoral
secara umum. Guna menjawab pertanyaan tindakan bermoral secara umum tersebut
maka perlu dibahas
mengenai apa itu tindakan dan apa itu bermoral.
Sehubungan dengan tindakan perlu dibedakan
berbagai tingkatan tindakan,
yakni tindakan naluriah,
tindakan manusiawi, dan tindakan bermoral
atau tindakan yang disebut
baik. Ukuran baik buruk tindakan
seseorang secara objektif
ialah norma dan secara subjektif adalah hati nurani.
Tindakan seseorang dikatakan baik jika sesuai dengan
norma dalam kelompoknya. Namun demikian tidak semua
manusia memiliki pengetahuan tentang norma
secara lengkap, maka hati nuranilah yang
akan menuntun tindakan seseorang menuju kebaikan. Selain itu, bertindak menaati
norma saja belum cukup, orang harus mengambil tanggung jawab dalam setiap
tindakannya. Tindakan bermoral adalah tindakan yang bertanggung jawab. Orang dapat
dituntut tanggung jawab jika dalam tindakannya ada
kesadaran dan kebebasan. Dalam
berbagai pilihan dari kebebasannya oleh karena
situasi, entah sadar
atau tidak, orang
sudah memiliki pilihan
dasar dalam hidupnya atau yang disebut
optio fundamentalis.
Berdasarkan rangkaian gagasan singkat
tersebut uraian mengenai tindakan bermoral secara umum
ini akan dibagi dalam beberapa sub bagian, yakni tindakan, nilai dan norma, hati nurani,
kebebasan dan tanggung jawab
serta optio fundamentalis.
B.
TINDAKAN
MANUSIA
Tindakan manusia berada dalam rentang naluriah,
seperti makhluk lain, hingga tindakan
bermoral. Untuk kepentingan penilaian moral, baik
kalau dibahas mengenai struktur
tindakan.
1.
Tindakan Naluriah
Ketika merasa lapar secara naluriah
manusia akan makan. Ketika
haus secara naluriah
manusia akan minum.
Ketika kejatuhan air pada matanya, manusia spontan akan menutup
kelopak mata. Demikian juga hewan,
ketika ia merasa lapar, hewan akan makan. Tindakan naluriah
merupakan tindakan yang tidak disadari.
Meskipun demikian, tindakan naluriah
manusia berbeda dengan binatang. Ketika binatang lapar dan
di hadapannya ada makanan, binatang
niscaya akan makan. Namun berbeda dengan binatang, tindakan
manusia meskipun naluriah
(niscaya) tetap tersedia
ruang untuk kemauan
atau kehendak bebas. Ketika manusia
lapar dan di hadapannya tersedia
makanan, manusia secara
naluriah akan makan,
namun dapat juga karena ia berpuasa, maka ia tidak makan (Bertens,
2007:11-14). Tindakan tidak makan karena berpuasa adalah tindakan yang disadari.
Tindakan tidak disadari dan disadari
tentu saja tidak dapat pilah
sepenuhnya. Selalu
ada hubungan antara
tindakan tak disadari dan disadari, antara tindakan naluriah dan tindakan manusiawi, karena
subjeknya adalah manusia,
makhluk yang melampaui
binatang. Sehubungan dengan itu kejujuran
dan keterbukaan orang
yang bertindak sangat diperlukan jika diperlukan guna penilaian moral (Chang, 2001:52).
2.
Tindakan
Manusiawi
Kata
manusiawi menunjuk pada kekhasan manusia
dibandingkan dengan makhluk
lain. Yang khas pada manusia
adalah kesadaran pribadi
(akal) dan kehendak
bebas. Dengan demikian tindakan disebut manusiawi jika
mengandung unsur- unsur tersebut, entah sebagian atau keseluruhan. Misalnya: belajar, berdoa, bercocok tanam, dan sebagainya.
Kata
manusiawi, dalam konteks
tindakan, dipakai juga untuk menunjuk pada tindakan yang dapat diterima
akal dan budi. Hal- hal yang
diterima akal budi biasanya disebut tindakan baik; dan tindakan yang tidak dapat diterima akal-budi ialah tindakan yang di luar batas toleransi akal budi. Jika ketidakbaikan suatu tindakan melebihi
batas kemanusiaan, disebut
tidak manusiawi. Maka tindakan
manusia yang tidak dapat diterima akal dan budi, sering disebut sebagai tindakan tidak
manusiawi. Misalnya: memperbudak orang lain, menganiaya dengan kejam, dan sebagainya.
Dengan demikian tindakan manusiawi
dalam arti luas adalah tindakan
yang melibatkan kesadaran
(akal), kehendak bebas, dan
budi (hati). Adapun dalam arti sempit, tindakan manusiawi melibatkan unsur kesadaran dan kehendak
bebas, entah tindakan itu bernilai
baik atau tidak. Meskipun tindakan manusia itu tidak bernilai baik, namun
jika dilakukan dengan
sadar dan bebas
itupun sudah manusiawi,
karena melibatkan unsur khas manusia yakni akal
dan kehendak bebas (Chang, 2001:
52).
3.
Tindakan Bermoral
Tindakan bermoral mengandung unsur
tindakan manusiawi dalam arti sempit,
yakni kesadaran pribadi dan kehendak bebas, ditambah dengan motivasi yang luhur. Tindakan
bermoral adalah
tindakan yang diketahui, tindakan yang
dikehendaki/disengaja, dengan maksud yang baik. Tindakan
bermoral memiliki pengertian sama dengan tindakan manusiawi dalam arti yang luas.
a.
Kesadaran
Pribadi
Saya
tahu apa yang harus saya perbuat dan saya tahu perbuatan saya.
Tindakan bermoral mengandaikan adanya pertimbangan. Dan pertimbangan
itu datang dari diri sendiri, bukan pertimbangan orang lain. Dengan pertimbangan itu orang menjadi tahu, sadar akan apa yang diperbuat dan apa yang harus
diperbuat (Kieser, 1991:18).
Sebagai gambaran: Ketika Yesus,
ditanyai Pilatus mengenai apakah Dia benar raja Yahudi,
Yesus bertanya balik: “Apakah engkau
katakan hal itu dari hatimu
sendiri, atau adakah
orang lain yang mengatakannya kepadamu tentang Aku?”
(Yoh 18:34). Kata ‘dari hatimu
sendiri’ mau mengungkapkan apakah Pilatus sadar/ tahu akan apa yang ditanyakan itu, ataukah hal itu datang dari orang lain. Pertanyaan Yesus menantang kesadaran Pilatus.
Hati merupakan simbol dari jati diri
atau inti kepribadian seseorang, maka kalau orang mengungkapkan sesuatu
atau bertindak dari hati
berarti ada kesadaran penuh atas apa yang diungkapkan atau dilakukan. Seberapa
penuh kesadaran yang menyertai
tindakan seseorang itulah yang menunjukkan seberapa penuh pula moralitas
yang ada. Tindakan-tindakan spontan- reaktif
cenderung kurang disadari. Maka ketika, terjadi resiko atas tindakan
reaktifnya orang lalu kaget dan bingung.
b.
Kehendak Bebas
Saya
sengaja melakukan, siapa lagi kalau bukan saya?
Selain kesadaran, unsur tindakan
bermoral yang lain adalah kehendak bebas, artinya subjek tindakan menghendaki
tindakan itu secara bebas.
Subjek tindakan dengan
sengaja melakukan tindakan
itu. Subjek bertindak atas kemauan sendiri, bukan atas
paksaan atau pengaruh dari pihak lain
(Kieser, 1991:19). Sebuah tindakan bernilai
moral tinggi jika tindakan itu dilakukan atas kehendak sendiri. Jika orang bertindak baik karena terpaksa akan memiliki nilai kebaikan yang lebih rendah dari
tindakan yang dilakukan atas kemauan
sendiri. Orang yang bertindak atas kemauan sendiri berarti ia menjadi
orang yang proaktif
(bertanggung jawab, menjadi tuan), atas tindakannya.
Sehubungan dengan itu, dalam kutipan Yohanes
di atas Yesus berkata pada Pilatus ‘Sebab
itu: dia, yang menyerahkan Aku kepadamu, lebih
besar dosanya.’ Orang yang
menyerahkan Yesus adalah orang yang atas kemauannya sendiri menyerahkan Yesus kepada Pilatus.
Adapun Pilatus, yang sebenarnya tidak menghendaki menghukum
Yesus, atas desakan orang-orang Yahudi terpaksa
menghukum Yesus. Karena itu
orang-orang yang menyerahkan Yesus kepada Pilatus lebih besar dosanya daripada
Pilatus. Kalau orang terpaksa berbuat
baik, nilai kebaikannya kurang daripada kalau ia memaui sendiri tindakan itu, begitu juga kalau orang
terpaksa bertindak kurang baik
(karena disuruh), maka nilai kurangbaiknya juga berkurang. Yang menanggung kekurangbaikan yang lebih
besar adalah yang menyuruh. Maka yang menyuruhlah yang lebih bertanggung jawab atas risiko yang ditimbulkan dari perbuatan itu, daripada orang yang disuruh. Maka yang menyerahkan
Yesus lebih besar dosanya daripada
Pilatus.
c.
Motivasi
Luhur
Saya
melakukan dengan tulus,
saya melakukan demi kebaikan sesama!
Tindakan bermoral selain memiliki
aspek kesadaran dan kehendak,
harus memiliki aspek motivasi luhur atau baik. Motivasi luhur
artinya bertujuan baik atau mulia. Apakah maksud baik atau mulia itu, manakah yang disebut baik atau mulia itu?
Maksud baik secara umum termaktub dalam
setiap norma. Di antara
sekian banyak norma, ada norma yang dirasakan berlaku umum. Norma yang berlaku umum tersebut, sekurang-kurangnya dapat disebut dua hal yakni:
1.
Cintailah sesamamu
seperti dirimu sendiri: memperlakukan orang
lain sebagai sesama. Dalam hal ini, maksud baik kalau memajukan kepentingan orang lain sebagai sesama.
2.
Memajukan kesejahteraan bersama. Kesejahteraan bersama
selalu berhubungan dengan kesejahteraan pribadi.
Kesejahteraan pribadi terjadi jika terpenuhi tiga nilai pokok, yakni kelangsungan hidup, kebebasan dan kepercayaan. Kelangsungan hidup
mengandaikan terpenuhinya kebutuhan
dasar, yakni pangan,
sandang, dan papan. Supaya orang menjadi
diri sendiri maka perlu dijamin adanya kebebasan bagi setiap orang. Berbagai pemaksaan membuat orang tidak dapat menjadi diri sendiri, karena dengan
pemaksaan orang bertindak
atas inisiatif orang lain. Dan agar hidup setiap orang terjaga
orang harus hidup saling percaya. Ketidakpercayaan akan merusak kebersamaan dan menghancurkan kehidupan. Jadi secara singkat
dapat dikatakan tujuan baik itu apa? Demi kehidupan, kebebasan, dan
kesalingpercayaan (Kieser, 1991:17-18).
Kebaikan yang dilakukan
dengan pamrih, biasanya dinilai kurang baik. Kebaikan
yang dilakukan dengan
tulus, tanpa pamrih,
akan dinilai sungguh baik. Jadi tujuan kebaikan itu tidak untuk diri sendiri melainkan sungguh demi
kebaikan itu sendiri.
Pertanyaan Refleksi:
Bagaimanakah kebaikan
yang saya lakukan selama ini? Saya berbuat
baik karena punya pamrih atau dengan tulus?
C.
NILAI DAN NORMA
1.
Nilai
Nilai tidak dapat dilepaskan dari
kebudayaan. Kebudayaan merupakan kenyataan
luar yang mengandung nilai di dalamnya.
Nilai merupakan inti dari kebudayaan. Oleh sebab itu dalam memahami nilai perlu lebih
dahulu membahas tentang kebudayaan.
a.
Kebudayaan
Setelah dilahirkan seseorang mengalami
proses hominisasi yaitu suatu proses
tumbuh sebagaimana dialami oleh makhluk lain. Pada tataran ini tindakan seseorang
tidak begitu berbeda
dengan makhluk lain, berjalan secara naluriah. Di samping proses hominisasi, di dalam diri seseorang
berlangsung proses humanisasi, proses
memanusia. Di dalam kebudayaan manusia berkembang mengatasi
karakteristik hewani yang berkenaan dengan hominisasi. Karenanya kebudayaan
mempunyai tempat yang sangat penting dalam hidup seorang
pribadi. Meskipun konsep dan praksis
humanisasi mungkin berbeda
antara satu kelompok
dengan kelompok lain, namun konsep dan praksis
humanisasi selalu merupakan usaha untuk melebihi kehidupan hewani dan membangun atasnya sesuatu yang
tidak sama, kreatif dan memperkaya
pribadi seseorang.
Pribadi manusia adalah makhluk
yang berelasi. Relasi itu dapat diklasifikasikan ke dalam 5 kategori, yakni, hubungan dengan kekuatan gaib (ilahi), alam, kelompok atau kelompok- kelompok, individu-individu dan diri sendiri. Dalam jaringan hubungan-hubungan itu seseorang mengalami
hal-hal seperti kebutuhan-kebutuhan, aspirasi-aspirasi,
pembatas-pembatas dan pertentangan-pertentangan yang timbul dari padanya. Hal-hal
tersebut harus dipertemukan dan dipenuhi dengan cara yang bermakna. Untuk itu maka nilai-nilai dirumuskan oleh kelompok.
Rumusan nilai ini antara satu kelompok dan kelompok yang
lain dapat berbeda-beda. Misalnya, tentang perkawinan: satu kelompok membolehkan poligami dengan syarat atau tanpa syarat,
kelompok lain berprinsip
monogami.
Nilai-nilai yang terwujud keluar
dalam pola-pola tingkah laku, sikap-sikap dan pola-pola berpikir,
membentuk inti dari kebudayaan. Jadi, kebudayaan manapun
memiliki sekaligus ‘realitas dalam’ (inner reality)
dan perwujudan luar. Realitas dalam merupakan daya seorang pribadi
untuk berhubungan dengan realitas-realitas
lain, untuk menjadi peka terhadap realitas-realitas tersebut, dan untuk membangun makna serta pengabsahan, melalui sistem nilai dalam jaringan
hubungan-hubungan ini dengan
realitas-realitas.
Perwujudan luar dari realitas dalam
itu adalah apa yang disebut dengan
karya manusia, bentuk-bentuk kesenian, tradisi- tradisi, norma, cara hidup, pola pikir, dan sebagainya. Pembicaraan kebudayaan yang hanya memperhatikan realitas luar tidak akan lengkap.
Kebudayaan merupakan totalitas
dari realitas dalam dan
perwujudan luarnya sekaligus (Ambroise dalam Kaswardi, 1993:17-20).
b.
Pengertian
Nilai
Nilai yang menjadi realitas
dalam dari kebudayaan, merupakan suatu yang abstrak, yang kita rasakan
dalam diri sebagai pendorong, prinsip-prinsip, yang menjadi pegangan
hidup. Nilai yang abstrak ini dapat dilacak
dari tiga realitas,
yakni: 1) nilai,
2) pola tingkahlaku, pola pikir dan sikap-sikap,
3) seorang pribadi atau suatu kelompok (Ambroise dalam Kaswardi,
1993: 20).
Purwo Hadiwardoyo menyitir pendapat
Max Sceler (dalam Kaswardi, 1993: 31-55) mengemukakan bahwa nilai bukanlah
keinginan melainkan apa yang diinginkan, apa yang pantas dan benar, yang patut dikejar. Nilai merupakan
sasaran praktis dari perbuatan
(Kieser, 1987:157). Nilai merupakan bagian dari potensi
manusia yang berada dalam
dunia rohaniah, tidak
berwujud namun sangat
kuat pengaruhnya dalam setiap perbuatan
penampilan seseorang. Dengan
demikian nilai senantiasa tersembunyi di balik
kenyataan lain.
Nilai berhubungan dengan kondisi
namun tidak secara
mekanik. Kondisi yang berubah dapat menyebabkan perubahan nilai, tetapi dapat juga tidak menimbulkan
perubahan nilai. Nilai tidak
tertutup, ia seperangkat dengan nilai lain atau berada dalam sebuah sistem nilai (Ambroise dalam
Kaswardi, 1993:22). Nilai
tidak selalu disadari.
Ada tidaknya nilai tidak ditentukan oleh kesadaran. Nilai merupakan kenyataan yang tak
berubah meskipun dibawa oleh
kenyataan lain yang dapat berubah. Nilai ditanamkan pada seorang pribadi dalam proses sosialisasi, melalui sumber-sumber yang berbeda: keluarga, desa, masyarakat,
teman sebaya, lembaga pendidikan,
media massa, agama, dan sebagainya.
2.
Norma
a.
Pengertian
Norma
Norma adalah salah satu unsur
kebudayaan, sebagaimana telah
disinggung di atas. Norma merupakan salah satu anggapan kolektif yang bersifat mengatur dan mengarahkan tingkah laku dalam kelompok berdasarkan keyakinan atau
sikap/nilai tertentu. Mengingat
inti dari kebudayaan adalah nilai, dan norma merupakan bagian dari kebudayan, maka inti dari norma tidak lain adalah
inti dari kebudayaan yaitu nilai atau keyakinan. Keyakinan atau nilai tersebut sekaligus merupakan sasaran dari perbuatan. Norma
mengarahkan tingkah laku agar mencapai sasaran yakni nilai atau keyakinan. Norma adalah cara perbuatan
yang dibenarkan untuk mewujudkan atau mencapai nilai itu yang diyakini kelompok
(Kieser, 1987:156-158). Norma selalu berhubungan dengan kelompok.
b.
Macam-macam
Norma
Sebagaimana nilai memiliki hirarki
demikian juga perwujudan nilai itu dalam norma akan hirarkis pula. Selama hidup kita, kita mengetahui dan terlibat
dalam banyak norma, mulai dari norma keluarga,
sekolah, desa, masyarakat adat, agama, negara,
dan sebagainya. Ada norma yang dirumuskan positif
yang berbentuk perintah.
Contoh: Hormatilah orang tuamu. Ada norma yang dirumuskan negatif yang berbentuk larangan. Contoh: jangan mencuri.
Dari
segi kesadaran, norma dapat dibedakan
menjadi kelaziman, adat istiadat dan hukum. Kelaziman
merupakan norma yang diikuti
tanpa berpikir. Kelaziman terbentuk karena alasan
praktis. Norma adat mengandung nilai, atau makna atau keyakinan. Adat dibentuk
untuk menjamin akan ketercapaian dari nilai
yang diyakini oleh kelompok. Dalam konteks praksis sosial antara kelaziman dan adat istiadat kadang
tidak jelas batasnya. Norma dengan taraf kesadaran
paling tinggi disebut
hukum. Hukum adalah aturan yang rasional untuk mencapai tujuan kelompok/
masyarakat/ negara, diumumkan oleh lembaga yang berwenang. Hukum adalah aturan bukan hanya nasihat. Hukum dibuat dengan sengaja melalui proses
demokrasi atau penetapan, diakui,
diterapkan pada
keadaan nyata. Pelaksanaannya ditegakkan dan
diawasi. Bagi yang melanggarnya akan mendapatkan sanksi.
Norma yang menyangkut hidup sosial
paling dalam ialah norma moral. Norma
ini disusun berdasarkan kodrat, martabat dan hakikat
pribadi manusia yang tetap, sehingga
norma ini dapat disebut juga hukum kodrat.
Norma moral ini sebagian dapat muncul
atas dasar iman atau wahyu. Norma yang muncul dari iman dan wahyu disebut norma agama. Norma ini tidak hanya menunjuk kehidupan di dunia ini tatapi
juga kehidupan setelah kematian.
Norma agama meliputi juga berbagai bidang kegiatan dalam agama tersebut, seperti ibadat, hidup
keluarga, hidup
pribadi manusia, kepemimpinan, kerja, pendidikan dan sebagainya (Kieser, 1987:158-160).
c.
Fungsi Norma
Kieser (1987:160-161) mengemukakan bahwa norma berfungsi untuk mengatur kerjasama
dalam memenuhi kebutuhan
hidup, keberlangsungan kelompok, dan mengungkapkan harapan kelompok. Setiap orang memiliki
kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam memenuhi
kebutuhan hidup, sangat mungkin
terjadi konflik dan agresi-agresi, maka agar kebutuhan dapat terpenuhi diperlukan norma.
Setiap kelompok ingin mempertahankan keberadaannya. Kelompok mengharapkan bahwa kelompoknya terus hidup. Penerusan hidup kelompok tersebut
terjadi melalui keturunan
dan masuknya anggota
baru. Keturunan dan anggota baru perlu dibina
tentang kehidupan bersama
oleh anggota lama. Bentuk kehidupan
bersama tampak dalam norma. Penerusan hidup bersama berarti belajar menaati norma.
Norma mengungkapkan harapan kelompok
tentang apa yang
baik, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan. Anggota
kelompok diharapkan menghargai dan mencapai nilai-nilai yang terkandung dalam
norma kelompok tersebut.
Norma moral mengingatkan anggota kelompok akan perbuatan-perbuatan baik yang harus dilakukan
demi diri dan sesama. Dalam hal inilah dimensi moral muncul.
Selain fungsi di atas, Chang
(2001:87-88) mengungkapkan satu fungsi lagi yakni menarik
perhatian akan gejala
‘pembiasan emosi’. Dalam tindakan kejahatan, korban secara
emosional cenderung ingin balas
dendam. Tindak balas dendam karena emosi, memiliki kecenderungan lebih jahat
dari tindakan yang mengenainya. Dalam
tindakan balas dendam ada pembiasan emosi. Kalau ini berlanjut terus kelangsungan hidup
bersama bisa terancam.
Norma menarik perhatian akan tindakan yang bias emosi tersebut. Artinya,
dengan
adanya norma manusia diajak untuk bertindak
rasional daripada emosional.
d.
Fungsi Norma
dalam Moralitas
Judul ini mau menanyakan sekaligus mencari jawaban
apakah cukup menaati
norma untuk menjadi
orang baik. Orang
yang berbuat baik dengan terpaksa, akan dinilai sebagai
kurang baik. Orang akan dipandang
baik jika menaati
norma dengan tulus,
artinya melibatkan pertimbangan dan kesadaran pribadi.
Dalam uraian mengenai
tindakan bermoral disebutkan bahwa tindakan
disebut bermoral jika dilandasi kesadaran dan kebebasan. Dengan itu jika orang melaksanakan norma moral tanpa melibatkan kesadaran dan kehendak pribadi
akan dinilai kurang
baik. Jadi norma
akan bernilai moral sejauh mengundang kesadaran dan kehendak pribadi
untuk melakukan kebaikan
(Kieser 1987:161-164). Köhlberg mengungkapkan dalam
taksonomi moralnya, yakni orang yang bertindak baik karena menghendaki perbuatan itu, atau karena prinsip
baik yang dipegangnya secara pribadi, ia masuk dalam
gradasi moral yang paling tinggi
atau disebut poskonvensional. Adapun orang-orang yang bertindak baik karena diatur
atau berdasarkan suatu norma kelompok
ia memiliki kebaikan pada taraf konvensional. Dan jika orang-orang bertindak baik karena ada pamrih, yakni menghindari hukuman atau ingin
mendapatkan suatu hadiah tertentu disebut
pada tataran moral
prakonvensional. Jadi tindakan baik yang dilakukan
atas kehendak sendiri
dan tanpa pamrihlah
yang dianggap memiliki
kebaikan tertinggi. Entah diatur atau tidak, kalau itu baik maka saya lakukan
(Adimassana
1998:38-40).
D. HATI NURANI (SUARA HATI)
Dalam hati (batin) manusia
bermunculan berbagai suara.
Ada suara yang spontan. Suara
spontan itu ada yang bersifat
senantiasa melarang, ada yang berupa
dorongan-dorongan untuk memiliki
barang-barang yang ia lihat bagus, ada yang seperti
emosi-emosi yang berkeliaran. Untuk
memahami pengertian hati nurani, suara hati, dan batin baiklah kita simak lebih dahulu
cerita berikut:
Seorang siswa, sebelum pelaksanaan ujian nasional mendapatkan berbagai info dari beberapa temannya
tentang kunci jawaban,
yang katanya merupakan
bocoran. Siswa tersebut meragukan kebenaran bocoran kunci
tersebut. Dalam keraguannya siswa itu
mengalami semacam perang batin. Ada bisikan
yang mengatakan ‘bawa saja bocoran itu, kerjakan soal berdasarkan bocoran itu, tidak perlu susah-susah. Di sisi lain
ia mendengar suara bahwa nyontek itu
tidak baik, jangan lakukan. Siswa
tersebut tetap belajar mempersiapkan ujian. Tetapi ia juga membeli bocoran kunci jawaban tersebut.
Ketika tiba saat pelaksanaan ujian, siswa tersebut
membawa bocoran kunci tersebut. Ia mengerjakan semua soal yang ia yakin bisa. Ketika menghadapi soal yang ia
merasa tidak bisa, ia mendengar
bisikan agar membuka kunci jawaban yang ia simpan di saku dan menjawab soal sesuai kunci jawaban tersebut.
Tetapi ia juga mendengar suara bahwa
menyontek itu tidak baik, jangan dilakukan, jawablah soal dengan
berpikir sendiri. Ketika
tangannya mencoba mengambil
kunci jawaban itu dari saku celananya, ia merasa
gemetar, jantungnya berdegup agak kencang. Merasakan hal itu akhirnya ia menarik lagi tangannya dari saku celananya. Ia mulai konsentrasi memahami soal dan
mengerjakannya sesuai pemikirannya. Selesai
ujian ia merasa tenang dan lega.
1.
Pengertian
Hati Nurani (Suara Hati)
Untuk memahami hal ikhwal
hati nurani, di samping cerita
di atas, baik kalau kita simak juga ajaran Gereja mengenai hati nurani sebagai berikut:
Di lubuk hati nuraninya manusia menemukan hukum,
yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri,
melainkan harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai
dan
melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana
perlu, suara itu menggemakan dalam lubuk hatinya:
jalankanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia
menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu, dan menurut hukum itu
pula ia akan diadili. Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ
ia seorang diri bersama Allah, yang
sapaan-Nya menggema dalam batinnya. Berkat hati nurani dikenallah secara ajaib hukum, yang dilaksanakan dalam cinta kasih terhadap Allah dan terhadap
sesama. Atas kesetiaan terhadap hati
nurani Umat kristiani bergabung dengan sesama
lainnya untuk mencari kebenaran, dan untuk dalam kebenaran itu memecahkan sekian banyak persoalan
moral, yang timbul baik dalam hidup
perorangan maupun dalam hidup kemasyarakatan.
Oleh karena itu semakin besar pengaruh hati nurani yang cermat, semakin jauh pula pribadi-pribadi maupun
kelompok-kelompok menghindar dari kemauan yang membabi-buta, dan semakin mereka berusaha untuk mematuhi norma-norma
kesusilaan yang objektif. Akan tetapi
tidak jaranglah terjadi bahwa hati nurani tersesat
karena ketidaktahuan yang tak teratasi, tanpa kehilangan martabatnya. Tetapi itu tidak
dapat dikatakan tentang orang, yang tidak
peduli untuk mencari apa yang benar serta baik, dan karena kebiasaan berdosa hati nuraninya lambat
laun hampir menjadi buta (Gaudium
et Spes, artikel
16 dalam Dokumen
Konsili Vatikan II, 1993: 525-526).
Istilah hati nurani dan suara hati
dalam bahasa Indonesia biasanya digunakan
untuk menerjemahkan istilah
yang sama, yakni conscience
(Inggris) atau conscientia (latin).
Dengan demikian suara hati dan hati
nurani merujuk pengertian yang sama, yakni pengetahuan
akan yang baik dan jahat yang menyertai tindakan. Hati nurani adalah kesadaran
moral. Dalam kasus di atas kesadaran moral itu adalah “menyontek itu tidak baik” karenanya tidak boleh dilakukan.
Kesadaran moral dalam diri manusia
bukan sesuatu yang netral. Kesadaran
moral senantiasa mewajibkan manusia untuk melakukan hal yang dianggap
baik itu dan tidak melakukan
apa yang dianggap jahat. Gaudium et spes dalam artikel di atas menyatakannya bahwa hati nurani sebagai
hukum, ‘Di lubuk hati nuraninya
manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri,
melainkan harus ditaatinya’.
Moral selalu menunjuk dan berhubungan
dengan perbuatan. Maka kesadaran
moral itu menjadi
nyata dalam keputusan
moral ketika menghadapi situasi konkret. Hal ini disebut sebagai kecakapan moral. Dalam cerita di atas
Siswa tersebut akhirnya memutuskan untuk tidak menyontek dan mengerjakan soal sesuai dengan
kemampuannya. Gaudium et Spes dalam artikel
di atas menyatakannya, “Bilamana perlu,
suara itu menggemakan dalam lubuk hatinya:
jalankanlah ini, elakkanlah itu”.
Sehubungan dengan gagasan di atas hati nurani dan suara hati dapat digunakan secara berbeda.
Mgr. Nicholaus Adi Seputra MSC, menyampaikan
gagasan Pater Yong Ohoitimur (kamerauke.blog.
spot, 2011/10) bahwa hati nurani menunjuk pada kesadaran dan keterarahan akan hal yang baik (kesadaran
moral atau kewajiban moral) yang
dalam bahasa latin disebut ‘synderesis’;
sedangkan suara hati menunjuk pada keputusan moral
dalam situasi konkret.
Dengan demikian suara hati merupakan perwujudan konkret dari hati nurani.
“Suara hati yang terdapat
dalam hati setiap
orang merupakan suatu pertimbangan akal budi yang muncul pada saat tertentu
dan mengarahkannya untuk
melakukan yang baik dan menghindari yang
jahat. Berkat suara hati ini, pribadi manusia memahami kualitas moral suatu tindakan untuk dilaksanakan atau sudah dilakukan, membuat
dia bisa mengambil tanggung jawab terhadap
tindakannya. Jika betul-betul memperhatikan suara hati ini, orang bijak
dapat mendengar suara Allah yang berbicara kepadanya” (Kompendium Katekismus
Gereja Katolik, 2011: artikel 372).
2.
Sifat-sifat
Hati Nurani
a.
Hati nurani bersifat subjektif: tindakan yang didasari
hati nurani membuat pelaku
sungguh menjadi subjek.
b.
Hati nurani bisa keliru:
kekeliruan muncul karena ketidaktahuan yang tidak disengaja, ketidaktahuan yang tidak
teratasi (khususnya pada persoalan-persoalan hidup yang baru) dan ketidakpedulian orang untuk mencari
kebaikan dan kebenaran. Gaudium et Spes dalam artikel di atas menyatakan “Akan tetapi
tidak jaranglah terjadi
bahwa hati nurani
tersesat karena ketidaktahuan yang tak teratasi, tanpa
kehilangan martabatnya”.
c.
Hati nurani bersifat
mutlak: hati nurani harus ditaati. Orang yang tidak taat pada suara hati akan merasa tidak aman. Orang yang
taat pada hati nurani akan merasa tenang, sebagaimana tampak dalam cerita
pengantar pemahaman hati nurani ini.
d.
Hati nurani bukan suara Tuhan: hati nurani meskipun
bersifat mutlak, namun
bukan suara Tuhan,
karena suara hati dapat
keliru. Suara Tuhan tidak dapat keliru. Kompendium Katekismus Gereja Katolik
sebagaimana dikutip di atas mengemukakan bahwa jika betul-betul memperhatikan sura
hati ini, orang bijak dapat mendengar suara Allah yang berbicara kepadanya.
e.
Hati nurani tidak
serba melarang: Ada kesan suara hati serba melarang. Suara hati tidak serba melarang.
Menurut Sigmund Freud (von Magnis, 1979:58-60), institusi
batin manusia yang serba melarang
tersebut ialah super ego. Super ego merupakan hasil internalisasi dari larangan-larangan yang terdapat dalam norma.
3.
Fungsi Hati Nurani
Dari pemahaman di atas dapat ditarik
tiga fungsi hati nurani, yakni
kesadaran akan yang baik dan tidak baik, akan apa yang harus dilakukan (keputusan akan nilai), pengambilan keputusan
untuk bertindak, dan pengadilan (keputusan) akan tindakan
yang dilakukan apakah
benar atau salah (Kieser,
1987: 96-102).
Hati nurani sebagai kesadaran artinya
memberika informasi tentang perbuatan
baik dan tidak baik dalam situasi konkret.
Informasi tersebut selanjutnya menjadi pertimbangan akan apa yang harus dilakukan. Hati nurani berfungsi sebagai pertimbangan mengapa
seseorang melakukan tindakan
tertentu dan bukan tindakan yang lain. Dengan kesadaran dan pertimbangan itu memungkinkan subjek untuk
dapat bertanggung jawab,
khususnya mampu menjawab mengapa ia melakukan perbuatan
tertentu.
Dengan pertimbangan hati nurani
subjek mampu memilih, memutuskan hal yang harus dilakukan. Memilih
berarti berkehendak. Berkehendak menunjukkan bahwa seseorang bebas menentukan. Dengan kehendak bebas itu, hati nurani memungkinkan orang untuk mengambil
tanggung jawab khususnya kesiapan menanggung risiko dari
tindakannya. Jadi hati nurani sangat berhubungan dengan kemampuan seserang
mengambil tanggung jawab atas
tindakannya.
Fungsi selanjutnya dari hati nurani
ialah sebagai pengambil keputusan
atas tindakan yang sudah
dilakukan. Tindakan seseorang dapat menyimpang dari hati nurani. Misalnya siswa dalam cerita di atas mengambil keputusan untuk menjawab
soal berdasarkan kunci jawaban
atau menyontek padahal
tindakan itu dilarang
oleh suara hatinya. Dengan
demikian siswa tersebut bertindak dengan sengaja
melawan suara
hatinya. Setelah orang
bertindak hati nurani
mengambil peranan menjadi pengadil apakah tindakan seseorang sesuai atau bertentangan dengan
suara hati. Jika tindakan seseorang sesuai degan suara hati, suara hati akan memberikan pujian,
peneguhan yang berupa ketenangan batin, seperti digambarkan dalam cerita di atas. Siswa itu pada akhir
ujian merasa tenang dan lega Karena
ia tidak jadi menyontek. Seandainya siswa tersebut akhirnya menyontek maka suara hati akan menyalahkan tindakan sehingga siswa tersebut merasa tidak
tenang.
Manusia bermartabat luhur justru karena ia memiliki hati nurani.
Dan keluhuran itu terwujud manakala
ia menaati keputusan hati nurani. Dalam
ketaatan terhadap keputusan
hati nurani itulah
letak martabat manusia. “Menurut hati nurani itu pula ia akan diadili”,
sebagaimana dinyatakan dalam artikel Gaudium et Spes di atas, “Martabatnya ialah mematuhi
hukum itu, dan menurut hukum itu pula
ia akan diadili”.
4.
Pembinaan
Hati Nurani
Suara hati dapat keliru, bisa tidak tahu,
bisa juga mengalami kebingungan, bahkan kekacauan. Seorang ibu desa setiap memasak
pakai kayu bakar. Di desanya sudah biasa orang-orang cari kayu bakar di hutan.
Suatu kali hutan itu sudah berubah fungsi
menjadi perkebunan. Ibu itu
tidak tahu kalau hutan sudah berubah fungsi.
Ia tetap mencari
kayu bakar di hutan itu. Petugas kehutanan
menangkap ibu itu dan memperkarakan. Ibu desa itu mengalami ketidaktahuan yang tidak disengaja. Karena tidak tahu suara hatinya mengambil keputusan yang keliru.
Secara moral ia tidak dapat
dipersalahkan.
Pada masalah-masalah baru dalam
kehidupan yang belum banyak dibahas
perspektif moralnya kebanyakan orang akan mengalami
ketidaktahuan dalam mengambil
keputusan moral. Dalam
kasus perawatan orang sakit parah pada usia tua, orang dapat mengalami kebingungan. Dilepas
alat-alat perawatannya, menurut
dokter kemungkinan besar orang
itu akan segera
meninggal. Tetapi perawatan tersebut tidak menyembuhkan
penyakitnya. Dalam hal itu keluarga
dapat mengalami kebingungan antara menggunakan
alat medis untuk merawat atau melepasnya.
Ketika orang tidak tahu lagi
membedakan mana yang baik dan mana
yang tidak baik, orang tersebut mengalami keadaan kekacauan hati nurani. Pernah
diberitakan bahwa di salah satu blog internet, sekelompok orang menawarkan
jasa untuk membunuh orang. Sebagian
orang merasa bangga
dapat melakukan kekerasan
pada orang lain bahkan mengeksposnya ke media internet.
Dapat didugai bahwa orang-orang seperti
itu telah mengalami
kekacauan suara hati. Perlakukan
‘tidak dapat dipersalahkan’ ketika orang menaati
hati nurani sebagaimana dilakukan oleh ibu desa tersebut di atas tidak berlaku pada orang seperti ini. Gaudium et Spes dalam hal ini menyatakan: ‘Akan tetapi tidak jaranglah terjadi
bahwa hati nurani tersesat
karena ketidaktahuan yang tak teratasi, tanpa
kehilangan martabatnya. Tetapi itu tidak dapat dikatakan tentang orang, yang tidak
peduli untuk mencari
apa yang benar
serta baik, dan karena kebiasaan berdosa hati
nuraninya lambat laun hampir menjadi
buta’.
Mengingat hati nurani dapat mengalami
berbagai hal negatif tersebut maka
perlulah malakukan pembinaan suara hati terus
menerus. Pembinaan suara hati agar lurus dan benar dapat dilakukan melalui
pendidikan, penghayatan sabda Allah dan pengajaran
Gereja, memohon dukungan Roh Kudus dan bantuan
orang-orang bijak (Kompendium Katekismus Gereja Katolik,
2011: artikel 374).
Dalam dunia pendidikan diajarkan
berbagai norma. Dibalik norma ada nilai-nilai. Suara hati moral perlu dilatih
untuk menemukan dan memahami
nilai-nilai yang ada. Suara hati perlu dibina untuk mempertimbangkan nilai-nilai yang ada. Dengan
pemahaman akan nilai-nilai yang ada tentu hati nurani
akan dapat mengambil keputusan secara benar
(Kieser, 1987:148-150).
Bagi orang beriman Sabda Allah adalah
sumber nilai-nilai. Nilai-nilai dari
Sada Allah adalah nilai yang mendasar dan luhur. ”Hukum emas” misalnya (perbuatlah pada orang lain apa yang kamu inginkan orang lain perbuat
kepadamu), merupakan nilai yang
sangat mendasar, universal dan luhur. Sabda Allah melalui Magisterium Gereja ditafsirkan untuk dapat diterapkan pada situasi kini. Maka menghayati ajaran Gereja dalam berbagai permasalahan masa kini akan membina suara
hati untuk dapat mengambil keputusan yang benar.
Dalam sejarah kita memahami
bahwa manusia karena kelemahan
dagingnya sering kali jatuh pada kesalahan-kesalahan. Oleh kelemahan dagingnya, manusia sering mengikuti godaan- godaan si jahat. Untuk itu perlulah
memohon rahmat dari Roh Kudus agar dapat kuat melawan godaan
dan kuat dalam komitmen untuk menghayati nilai-nilai kebaikan. Dalam doa-Nya
yang diajarkan kepada para
murid-Nya Yesus mengajak agar mereka memohon kepada Allah untuk dijauhkan dari pencobaan dan pembebasan
dari kuasa jahat.
Manusia tidak hidup sendirian. Dalam kelompok senantiasa ditemukan
orang-orang bijak. Para tua-tua yang sudah memiliki banyak pengalaman, para pemimpin yang dipersiapkan dalam berbagai hal untuk memperkembangkan hidup kelompoknya, para rohaniwan-rohaniwati, dapat menjadi orang-orang bijak. Mereka adalah orang-orang yang dapat menjadi
tempat konsultasi dan menjadi pendamping dalam menjalani
kehidupan ini.
Dapat ditambahkan lagi satu bentuk pembinaan
hati nurani ialah kesediaan
untuk mengadakan refleksi moral dalam pengambilan keputusan
atas apa yang dilakukan maupun atas apa yang
sudah dilakukan (Chang, 2001:138). Dengan refleksi orang dapat melihat dengan jernih kebenaran
keputusan yang akan dan
telah diambil. Dengan refleksi itu orang dapat memperbaiki keputusan-keputusan yang keliru yang telah
diambilnya. Dengan itu kemajuan hidup
moral dapat diharapkan terjadi.
E.
KEUTAMAAN-KEUTAMAAN MORAL
Mempelajari keutamaan-keutamaan moral
merupakan hal penting
untuk membantu pengembangan hati nurani dan perwujudan diri. “…haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna (Mat
5:48)”. Inilah tujuan hidup Kristen,
menjadi serupa dengan Allah. Serupa dengan Allah, maksudnya agar menusia senantiasa
melakukan kebaikan. Sebagaimana Allah menerbitkan
matahari dan menurunkan hujan
bagi orang baik maupun tidak baik, demikianlah kebaikan
yang harus dilakukan orang. Ketika orang memiliki
disposisi yang tegas akan kebaikan dan biasa melakukannya
itulah keutamaan (Kompendium Katekismus Gereja Katolik, 2011:
artikel 377).
Keutamaan-keutamaan yang penting
untuk dikembangkan agar mendukung
moralitas seseorang antara lain kebijaksanaan,
keadilan, keberanian, dan penguasaan diri, kesederhanaan, solidaritas (Kompendium Katekismus Gereja
Katolik, 2011: artikel 379):
Kebijaksanaan merupakan buah penggunaan akal budi berhadapan dengan situasi konkret dengan
mempertimbangkan kebaikan yang sejati
baik menyangkut sarana atau cara maupun tujuan.
Keadilan
adalah keadaan dihormatinya hak
dan kewajiban. Berkeadilan berarti
memberikan pada orang lain apa yang menjadi haknya dan melakukan apa yang
menjadi kewajibannya. Berdasarkan pengalaman bahwa keadilan itu perlu senantiasa diusahakan. Situasi nyata pada masyarakat pada umumnya masih jauh dari keadilan. Dalam masyarakat
senantiasa ada yang mengalami ketidakadilan. Dalam konteks ekonomi
senantiasa ada bagian dari masyarakat yang mengalami kemiskinan, ketersingkiran, penindasan, dan sebagainya. Dalam situasi
seperti itu keutamaan bersolidaritas
sangat dibutuhkan demi penegakan keadilan
tersebut.
Keberanian merupakan kemauan yang teguh untuk terus melakukan kebaikan di tengah berbagai
kesulitan dan ancaman. Keberanian bahkan sampai
pada kemampuan untuk
mengorbankan diri dengan alasan yang benar.
Penguasaan
diri merupakan kemampuan untuk
membatasi, menahan diri dari kecenderungan untuk mencari kesenangan, menuruti naluri. Berpenguasaan diri senantiasa berusaha untuk bertindak seimbang dalam penggunaan barang-barang. Pengusaan diri bahkan sampai pada kemampuan hidup
sederhana.
F.
KEBEBASAN
DAN TANGGUNG JAWAB
1.
Kebebasan
Kebebasan secara eksistensial
dipahami sebagai kemampun untuk menentukan atau memilih hal yang dikehendakinya. Dalam menghadapi
berbagai tawaran orang dapat mengatakan ya dan
tidak. Dalam batas tertentu orang yang berada dalam keterbatasan penjara pun dapat menentukan pilihan
pada batas-batas yang ada.
Kemampuan menentukan pilihan dari dalam dirinya, tanpa paksaan dari pihak luar, itulah yang disebut kebebasan.
Kebebasan untuk menentukan diri
mengandaikan kebebasan dari batasan,
namun tidak dari semua batasan.
Norma-norma dalam kebersamaan adalah batasan namun itu tidak dapat disebut
sebagai penghalang kebebasan. Kebebasan perlu ditempatkan dalam konteks hidup manusia yang terbatas. Kebebasan
tidak sama dengan keliaran,
tanpa aturan. Manusia selalu ada dalam kebersamaan dengan orang lain. Dalam kebersamaan itu ada norma-norma. Perwujudan kebebasan dalam batas-batas yang menjadi kesepakatan bersama itulah kebebasan
yang otentik (Chang, 2001:57-58).
2.
Tanggung Jawab
a.
Pengertian tentang
Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah kemampuan
seseorang untuk memberikan respon atas tindakannya. Respon tersebut berupa
jawaban atas pertanyaan mengapa aku melakukan hal tertentu dan kesiapan menanggung risiko atas apa yang telah aku lakukan.
Tuntutan kesiapan menjawab
dan menanggung itulah disebut tanggung
jawab. Contoh: Seorang
pemuda ditangkap polisi
karena dituduh telah membunuh sebuah keluarga. Pemuda itu harus mempertanggungjawabkan di pengadilan tindakan
membunuh yang telah ia
lakukan.
Sehubungan dengan kesiapan menjawab
dan menanggung itu maka tindakan yang bertanggung jawab mengandaikan adanya kesadaran dan kebebasan. Sadar
berarti tahu. Kalau orang bertindak atas kesadaran pribadi
maka ia tahu apa yang ia perbuat
dan mengapa berbuat demikian. Ia telah membuat pertimbangan sebelum
bertindak. Bertindak bebas berarti bertindak
atas kemauan sendiri. Tindakan
tersebut bukan hasil pemaksaan atau keterpaksaan. Dengan menghendaki tindakan
tersebut orang akan siap menanggung segala risiko atau konsekuensi dari tindakannya.
Dalam pengertian yang lebih luas,
yakni berhadapan dengan tuntutan moral, tanggung jawab tidak hanya soal kesiapan
memberi jawaban dan menanggung konsekuensi dari tindakannya, melainkan juga merupakan komitmen
untuk melaksanakan kebaikan.
Tanggung jawab moral berarti kesediaan
melakukan tindakan
bermoral. Misalnya, Pak Waru selalu
mempertimbangkan baik-buruknya dari setiap tindakan
yang akan dilakukannya. Pertimbangan itu dimaksudkan agar ia dapat memilih tindakan yang baik sesuai dengan komitmennya.
Ketika ditawari sejumlah uang sebagai
bantuan untuk lembaganya dengan menandatangani kuitansi kosong, Pak Waru menolaknya.
Bahkan ia bertanya dari mana asal
usul uang tersebut. Ternyata asal-usul uang itu tidak jelas. Maka penolakan pak Waru semakin dikuatkan, meskipun perusahaannya sangat butuh bantuan.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian awal tindakan bermoral
merupakan tindakan yang disadari,
dikehendaki atau dipilih secara bebas, dengan motivasi luhur. Pertimbangan-pertimbangan, pilihan
keputusan dan komitmen
(motivasi) menunjukkan tentang
tanggung jawab moral.
Dari uraian tersebut tampak bahwa
kebebasan berhubungan dengan tanggung
jawab. Jika orang bertindak dengan bebas ia dapat bertanggung jawab. Semakin bebas seseorang semakin
besar tanggung jawabnya.
b.
Halangan-halangan Tanggung
Jawab
Mengingat unsur tanggung jawab ialah kesadaran
atau pengetahuan dan kebebasan maka kurangnya atau tiadanya kedua
hal itu merupakan penghalang tanggung
jawab. Maksudnya, orang akan kurang atau tidak dapat
bertindak secara bertanggung jawab jika ia tidak tahu dan tidak bebas.
Ketidaktahuan ini ada dua macam, yakni ketidaktahuan yang tidak teratasi
dan ketidaktahuan yang
teratasi. JIka orang merasa tidak tahu namun
ada kesempatan mencari
tahu, ia tidak bebas dari tanggung jawab. JIka orang dapat
mengatasi ketidaktahuannya namun ia tidak mencari tahu dan bertindak atas dasar ketidaktahuan itu, ia tetap dituntut tanggung jawab. Dalam hal ini orang abai,
atau kurang perhatian. Mereka yang
abai dan tidak mau memperhatikan tidak lepas dari tanggung jawab. Lain halnya jika orang dalam keadaan tidak tahu dan harus bertindak saat itu juga,
sehingga tidak dapat mengatasi ketidaktahuannya,
orang tersebut tidak dapat dituntut tanggung
jawab (Chang, 2001:61-62).
Jika
orang bertindak karena dipaksa atau dalam keadaan
terpaksa karena tidak ada pilihan
lain, maka orang tersebut akan mengalami kesulitan dalam hal
tanggung jawab. Dalam hal orang yang
dipaksa ia tidak dapat dikenai tanggung jawab, orang yang memaksalah yang harus bertanggung jawab. Dalam hal keterpaksaan
karena tidak ada pilihan lain, biasanya orang lain akan memaklumi, sehingga
tuntutan tanggung jawab menjadi berkurang.
Kebiasaan dapat juga menjadi
penghalang tanggung jawab. Orang yang bertindak atas dasar kebiasaan
biasanya unsur kesadarannya dan kehendaknya kurang.
Kebiasan membuat tindakan orang menjadi bertindak mekanis.
Dengan kebiasaan itu orang dapat bertindak kurang atau tidak
bertanggung jawab.
G.
OPTIO
FUNDAMENTALIS
1.
Pengertian tentang
Optio Fundamentalis
Hidup yang hanya sekali ini mau saya
apakan? Mau menjadi (si)apakah aku ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut
menunjuk pada pilihan dasar
karena menyangkut hidup dan jati diri. Itulah
yang dimaksudkan dengan optio fundamentalis, yakni pilihan dasar atau sikap dasar. Pilihan dan sikap
dasar ini akan menjadi arah hidup moral seseorang. Tindakan sehari-hari seseorang
dapat merupakan uangkapan, peneguhan, pengembangan dan pengawetan
optio fundamentalis, jika tindakan
sehari-hari tersebut searah dengan
pilihan dasarnya. Sebaliknya jika tindakan sehari- hari tidak sejalan dengan optio fundamentalis, tindakan tersebut akan memperlemah dan mematikan optio
fundamentalis. Baik- buruknya
tindakan seseorang tidak dapat dilepaskan dari pilihan dasar tersebut. Penilaian moral atas tindakan manusiawi perlu melibatkan dan dihubungkan dengan optio fundamentalis (Chang, 2001:73-74).
Dalam kehidupan sehari-hari setiap
orang senantisa dituntut mengambil pilihan
dalam berbagai hal. Misalnya, soal makan, pakaian,
perlengkapan kerja dan sebagainya. Pilihan-pilihan keseharian itu biasanya
berdasar atas pilihan
yang lebih mendasar.
Misalnya, Si A mengambil pilihan
yang agak dasar,
yakni untuk hidup sederhana.
Pilihan hidup sederhana tersebut akan mempengaruhi
pilihan-pilihan lanjutan, seperti pilihan makanan, pakaian, dan lain-lain. Si A merasa cukup makan dengan lauk tahu tempe di warung sederhana, meskipun
ia mampu membeli makanan di restoran mewah.
Jika dirunut semakin dalam hingga
dasar, akhirnya manusia dihadapkan hanya pada dua pilihan yakni memilih mengabdi
Tuhan atau ciptaan. Pilihan dasar ini, entah mengabdi Tuhan atau ciptaan akan berpengaruh pada seluruh
hidup seseorang. Pilihan dasar ini menjadi semacam
janji untuk hidup dengan cara tertentu.
Bagi yang mengambil pilihan dasar mengabdi
Tuhan, maka ia akan berkomitmen dan mengambil tanggung
jawab moral sejalan
dengan perintah Tuhan. Dengan
itu pilihan dasar merupakan perwujudan kebebasan
pribadi. Pilihan dasar ini sebaiknya ditempatkan pada awal hidup moral seseorang, agar hidup moral seseorang sejalan dengan pilihan dasarnya.
Optio fundamentalis seseorang dapat berubah. Orang yang semula memiliki optio fundamentalis mengabdi Tuhan, oleh karena
tindakan sehari-harinya banyak yang jahat akhirnya optio fundamentalis mengabdi
Tuhan itu tidak ada artinya. Dapat terjadi juga
hal yang sebaliknya. Semula orang tidak peduli akan Tuhan dan agama, namun karena akibat-akibat
negatif yang dia terima sebagai buah
tindakannya orang itu pun berubah. ia tidak mau menerima akibat buruk, akhirnya ia bertindak baik agar berbuah baik. Sehubungan dengan itu optio fundamentalis berhubungan dengan rahmat juga. Relasi manusia dengan Tuhan berperan
penting dalam menjelaskan optio fundamentalis.
Sebagaimana pribadi manusia selalu
dalam proses menjadi, demikian juga optio fundamentalis bukan sesuatu yang
sekali jadi dan tetap. Optio fundamentalis dapat berubah dan
berkembang. Secara psikologis optio fundamentalis sebagai keputusan pribadi
yang menyeluruh dapat dibenarkan apabila diambil pada taraf kedewasaan yang memadai. Namun
demikian optio ini dipersiapkan sejak masa kanak-kanak dengan tindakan-tindakannya yang mengacu
pada moralitas.
2.
Pembentukan Optio Fundamentalis
Optio fundamentalis terbentuk dalam proses yang lamban, historis dan implisit (Chang, 2001:
76-77). Lamban sejalan dengan situasi
historis, pembentukan optio fundamentalis terjadi dalam sejarah (pengalaman) perkembangan pribadi seseorang. Pikiran dan tindakan seseorang dalam hidup
sehari-hari ikut berperan dalam pembentukan optio fundamentalis. Pembentukan optio ini
dapat terjadi melalui rangkaian tindakan yang kurang bahkan
tidak disadari. Orang
yang kurang peduli
akan hal-hal keseharian, seperti kedisiplinan
berlalu lintas, kedisiplinan dalam belajar, memarkir sepeda motor tidak pada tempatnya, dan sebagainya bukan tidak mungkin kebiasaan-kebiasaan itu akan ikut terbawa dalam
perkara besar sehingga
berakibat fatal. Tindakan-tindakan yang disadari dan sering dilakukan akan membekas dan ikut berperan dalam pembentukan optio fundamentalis. Pembentukan optio fundamentalis terjadi
secara terselubung, di balik tindakan-tindakan dan peristiwa- peristiwa yang dialami seseorang. Dalam
tindakan-tindakan itu selain unsur
kesadaran dan kehendak diri, faktor eksternal juga berpengaruh. Tidak setiap tindakan yang kita lakukan merupakan keputusan bebas kita. Tindakan-tindakan
tersebut dapat muncul karena pengaruh
teman, kebiasaan masyarakat, media massa, dan sebagainya. Faktor-faktor eksternal
yang kita terima dan ikuti tanpa kesadaran
pun dapat juga mempengaruhi terbentuknya optio fundamentalis.
H.
PENUTUP
Pembahasan mengenai moral adalah
pembahasan mengenai baik-buruknya manusia
sebagai manusia. Tindakan
bermoral ialah tindakan baik
atau buruk. Penilaian baik buruknya tindakan
manusia secara objektif
didasarkan pada hati nurani. Dalam struktur
tindakan manusia dasar utama penilaian baik buruknya tindakan manusia ialah tindakan objektifnya.
Seseorang yang bertindak atas dasar hati nurani berarti
bertindak secara sadar dan bebas. Tindakan yang disadari dan dikehendakimerupakantindakanbertanggungjawabataubermoral. Tindakan
bermoral sehari-hari dari seseorang dipengaruhi dan mempengaruhi pilihan
dasarnya (optio fundamentalis). Oleh
karena itu penilaian
baik buruknya tindakan
seseorang perlu mempertimbangkan optio fundamentalis yang ada pada diri orang tersebut.
KEPUSTAKAAN
Adimassana, YB. 1998. “Moral Dasar”.
Diktat kuliah pada Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Bertens, K.
2007. Etika. Jakarta: Gramedia.
Chang, William OFMCap. 2001. Pengantar Teologi
Moral. Yogyakarta: Kanisius.
De Mello, Anthony.
1984. Burung Berkicau. Jakarta:
Cipta Loka Caraka.
Hadiwardoyo,
Purwa. 1994. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Kanisius.
Hardawiryana,
R. (penerjemah). 1993. Dokumen Konsili Vatikan
II. Jakarta: Obor.
Kaswardi, EM. K. 1993.
Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000.
Jakarta: Gramedia.
Kieser, Bernhard. 1987. Moral Dasar, Kaitan Iman dan Perbuatan.
Yogyakarta: Kanisius.
. 1991. Paguyuban Manusia
dengan Dasar Firman.
Yogyakarta: Kanisius.
Susanto, Harry (penerjemah). 2011. Kompendium
Katekismus Gereja Katolik. Yogyakarta: Kanisius.
SUMBER INTERNET
Adi Seputra, Nicholaus (editor). 2011. Hati Nurani-Suara Hati-Suara Batin. Kamerauke.blogsot.com. Diakses 20 Januari 2014.