Selasa, 29 Juni 2021

Ajaran Sosial Gereja

 PELAJARAN 11 – 12  AJARAN SOSIAL GEREJA


 

Latar Belakang!

Sejak perkembangan industri modern, massa buruh berjubel di kota-kota besar tanpa jaminan masa depan. Maka, timbullah berbagai masalah sosial baru yang berat, antara lain masalah upah yang adil, kepastian tempat kerja, hak mogok, yang pada dasarnya mempertanyakan juga adil-tidaknya struktur masyarakat itu sendiri.

Dalam abad pertengahan, Gereja menekankan cinta kasih akan sesama manusia dan kewajiban terhadap masyarakat, antara lain dengan mempermasalahkan upah adil, larangan mengambil bunga, dan kutukan atas penghisapan orang pribumi. Namun, semuanya berubah dengan munculnya revolusi industri, yang menyebabkan susunan masyarakat goyah dan menghasilkan masalah-masalah sosial baru. Maka sejak abad XIX, teologi moral mencari jawaban atas perubahan struktur sosial itu, yaitu suatu ajaran tentang hidup kemasyarakatan modern.

Didukung oleh data-data sosiologi dan berdasarkan ajaran etika tentang hukum kodrat, dicari norma-norma untuk mengatur hidup kemasyarakatan abad XIX dan XX menurut nilai-nilai kemanusiaan yang sejati. Situasi sosial menantang beberapa tokoh Katolik untuk memikirkan, merealisasikan, dan memperjuangkan suatu pembaharuan sikap dan keadaan.

Kehadiran ajaran sosial Gereja dapat digambarkan dalam tiga tahap, yaitu:

1. Ajaran sosial Gereja yang dikembangkan sejak abad XIX merupakan bagian integral dari seluruh pandangan hidup Kristiani. Antara terbitnya Ensiklik Rerum Novarum (1891) dan Ensiklik Mater et Magistra (1961) dikembangkan ajaran sosial klasik yang berkisar pada masalah- masalah keadilan untuk kaum buruh upahan. Keadilan sosial merupakan tuntutan kemanusiaan yang pada intinya bersifat sosial. Maka, kodrat manusia yang sama ini mendasari kewajiban antar-manusia dan antar-golongan. Ajaran sosial Gereja menolak pandangan yang salah tentang masyarakat, yaitu ajaran kapitalisme liberal dan komunisme total. Ajaran sosial Gereja memusatkan perhatian pada penekanan nilai-nilai dasar kehidupan bersama. Titik tolaknya adalah pengertian manusia sebagai makhluk berpribadi dan sekaligus makhluk sosial. Di satu pihak, manusia membutuhkan masyarakat dan hanya dapat berkembang di dalamnya. Di lain pihak, masyarakat yang sungguh manusiawi mustahil terwujud tanpa individu-individu yang berkepribadian kuat, baik, dan penuh tanggung jawab. Masyarakat sehat dicirikan oleh adanya pengakuan terhadap martabat pribadi manusia, kesejahteraan bersama, solidaritas dan subsolidaritas.

2.  Mulai dalam Ensiklik Mater et Magistra (1961), Gaudium et Spes (1965), dan Populorum Progressio (1971) dimunculkan tekanan baru pada segi pastoral dan praksis, dimensi internasional dan masalah hak-hak asasi manusi Masalah konkret yang sangat mendesak adalah negara yang sedang berkembang, ledakan penduduk, nilai kerja manusia, diskriminasi rasial, otonomi bidang duniawi dari agama, keahlian profesional. Pada tahap kedua ini, Gereja berjuang untuk membela martabat setiap pribadi manusia     dan membangun masyarakat yang manusiawi.


Ajaran sosial Gereja sering terkesan sebagai pedoman yang kaku. Terdorong dan diterangi iman dicari jawaban atas masalah-masalah baru. Ajaran sosial Gereja berkembang, walaupun prinsip-prinsip dasarnya sama. Bila keputusan dan tindakan politik tidak adil, Gereja harus bicara. Melalui pelajaran ini, para siswa dibimbing untuk memahami arti dan sejarah munculnya ajaran sosial Gereja. Kemudian, secara bersama-sama para siswa diajak mencari mengapa ajaran sosial Gereja di Indonesia kurang mendapat sambutan, terutama dari orang-orang Katolik sendiri. Dari sini siswa diajak untuk bersama-sama mencari manfaat yang dapat dipetik dari ajaran sosial Gereja.

 

Mendalami Keprihatinan dan Ajaran sosial Gereja

BURUH MUDA

Sering kita menghina dan menjauhkan diri dari orang yang kita anggap berdosa. Misalnya, siapa yang mau bergaul dengan seorang WTS. Atau siapa yang mau berkumpul dengan buruh kasar yang sering mengeluarkan kata makian?

Ada satu kota pelabuhan di Prancis Selatan yang para buruh pelabuhannya terkenal kasar dan jorok pada masa itu. Pada suatu hari, datanglah seorang buruh muda yang simpatik bekerja di situ. Walaupun pada permulaan dia ditertawakan oleh para buruh lain sebagai seorang yang sok suci, tetapi akhirnya semua buruh sangat segan dan menghormatinya, karena ia selalu baik dan memperjuangkan nasib para buruh dan tidak terlalu memperhatikan kepentingannya sendiri. Oleh kehadirannya, suasana mesum dan jorok mulai lenyap dari pelabuhan itu.

Pada suatu hari terjadi bencana. Buruh muda yang simpatik itu mati tertindih balok kayu ketika ia sedang membantu sesama buruh membongkar kayu-kayu dari kapal. Semua buruh mengerumuni dan menangisi jenasahnya. Ketika mereka memandikan jenasahnya, mereka melihat ia mengalungi sebuah medali. Di balik medali itu tertulis nama aslinya. Ia seorang Imam! Pada saat itu semua buruh sadar; seorang yang suci dan penyayang telah bergaul dengan mereka yang kasar dan jorok. Tetapi ia telah memenangkan cinta mereka.

 

AJARAN SOSIAL GEREJA

Sejak perkembangan industri modern, timbullah berbagai masalah sosial baru yang berat, antara lain upah yang adil, kepastian tempat kerja, hak mogok, yang pada dasarnya mempertanyakan juga adil-tidaknya struktur masyarakat itu sendiri.

Supaya tidak tertinggal dari gerakan komunisme yang memperjuangkan nasib kaum buruh, ada imam-imam yang mulai melibatkan diri dalam pastoral kaum buruh seperti imam muda dalam kisah di atas. Kemudian, para Paus pun mulai mengeluarkan ensiklik-ensiklik yang memuat ajaran sosial Gereja.

1.    Arti dan Makna Ajaran Sosial Gereja

Ajaran sosial Gereja adalah ajaran Gereja mengenai hak dan kewajiban berbagai anggota masyarakat dalam hubungannya dengan kebaikan bersama, baik dalam lingkup nasional maupun internasional.

Ajaran sosial Gereja merupakan tanggapan Gereja terhadap fenomena atau persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat manusia dalam bentuk himbauan, kritik atau dukungan. Ajaran sosial Gereja bersifat lunak, bila dibandingkan dengan ajaran Gereja dalam arti ketat, yaitu dogma. Dengan kata lain, ajaran sosial Gereja merupakan bentuk


keprihatinan Gereja terhadap dunia dan umat manusia dalam wujud dokumen yang perlu disosialisasikan.

Karena masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia beragama bervariasi, dan ini dipengaruhi oleh semangat dan kebutuhan zaman, maka tanggapan Gereja juga bervariasi sesuai dengan isu sosial yang muncul.

 

2.   Ensiklik-Ensiklik dan Dokumen Konsili Vatikan II yang Memuat Ajaran Sosial Gereja Sepanjang Masa

 

a.     Ajaran sosial Gereja dari Rerun Novarum sampai dengan Konsili Vatikan II

Ajaran sosial Gereja dalam dunia modern berawal dari tahun 1981, ketika Paus Leo XIII mengeluarkan ensiklik Rerun Novarum. Dalam ensiklik itu Paus dengan tegas menentang kondisi-kondisi yang tidak manusiawi yang menjadi situasi buruk bagi kaum buruh dalam masyarakat industri. Paus menyatakan 3 faktor kunci yang mendasari kehidupan ekonomi, yaitu para buruh, modal, dan negara. Paus juga menunjukkan bahwa saling hubungan yang wajar dan adil antara tiga hal itu menjadi masalah pokok ajaran sosial Gereja.

Pada tahun 1931, pada peringatan ke-40 tahun Rerun Novarum, Paus Pius XI menulis ensiklik Quadragesimo Anno. Dalam ensiklik itu, Paus Pius XI menanggapi masalah-masalah ketidakadilan sosial dan mengajak semua pihak untuk mengatur kembali tatanan sosial berdasarkan apa yang telah ditunjukkan oleh Paus Leo XIII dalam Rerum Novarum.

Paus Pius XI menegaskan kembali hak dan kewajiban Gereja dalam menanggapi masalah-masalah sosial, mengecam kapitalisme dan persaingan bebas serta komunisme yang menganjurkan pertentangan kelas dan pendewaan kepemimpinan kediktatoran kelas buruh. Paus menegaskan perlunya tanggung jawab sosial dari milik pribadi dan hak-hak kaum buruh atas kerja, upah yang adil, serta berserikat guna melindungi hak- hak mereka.

Tiga puluh tahun kemudian, Paus Yohanes XXIII menulis dua ensiklik untuk menanggapi masalah-masalah pokok zamannya, yaitu Mater et Magistra (1961) dan Pacem in Terris (1963). Dalam dua ensiklik ini, Paus Yohanes XXIII menyampaikan sejumlah petunjuk bagi umat Kristiani dan para pengambil kebijakan dalam menghadapi kesenjangan di antara bangsa-bangsa yang kaya dan miskin, dan ancaman terhadap perdamaian dunia. Paus mengajak orang-orang Kristiani dan “semua orang yang berkehendak baik” bekerja sama menciptakan lembaga-lembaga sosial (lokal, nasional, ataupun internasional), sekaligus menghargai martabat manusia dan menegakkan keadilan serta perdamaian.

 

b.     Ajaran sosial Gereja sesudah Konsili Vatikan II

Ketika Paus Yohanes XXIII mengadakan Konsili Vatikan II dalam bulan Oktober 1962, dia membuka jendela Gereja agar masuk udara segar dunia modern. Konsili ekumenis yang ke-21 inilah yang pertama kali merefleksikan Gereja yang sungguh- sungguh mendunia. Selama tiga tahun, para kardinal dan para uskup dari berbagai dunia dan hampir semua bangsa berkumpul untuk mendiskusikan hakikat Gereja dan perutusannya ke dunia serta di dalam dunia. Tugas perutusan Gereja dalam dunia modern ini termuat dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Harapan). Dalam Gaudium et Spes ini, para bapa konsili meneguhkan bahwa perutusan khas religius Gereja memberinya tugas, terang, dan kekuatan yang dapat membantu pembentukan dan pemantapan masyarakat manusia menurut hukum Ilahi. Keadaan, waktu, dan tempat menuntut agar Gereja dapat dan bahkan harus memulai kegiatan sosial demi semua orang.


Sejak Konsili Vatikan II, pernyataan-pernyataan Paus Paulus VI dan Yohanes Paulus II, sinode para uskup dan konperensi-konperensi para uskup regional maupun nasional semakin mempertajam peranan Gereja dalam tanggung jawab terhadap dunia yang sedang berubah dengan pesat ini. Kedua paus dan para uskup itu sepenuhnya sadar bawah mencari kehendak Allah dalam arus sejarah dunia bukanlah tugas yang sederhana. Mereka juga menyadari bahwa Gereja tidak mempunyai pemecahan yang langsung dan secara universal dapat memecahkan masalah-masalah masyarakat yang kompleks dan semakin mendesak. Ada tiga dokumen yang secara khusus memberi sumbangan Gereja mengenai tanggung jawab itu:

    Dalam dokumen Populorum Progressio (1967), Paus Paulus VI menanggapi jeritan kemiskinan dan kelaparan dunia, menunjukkan adanya ketidakadilan struktural. Ia menghimbau negara-negara kaya maupun miskin agar bekerja sama dalam semangat solidaritas untuk membangun “tata keadilan dan membaharui tata dunia”.

        Dokumen kedua berupa surat apostolik Octogesimo Adveniens yang ditulis oleh Paus Paulus VI tahun 1971 untuk merayakan 80 tahun dokumen Rerum Novarum. Dalam surat ini diketengahkan bahwa kesulitan menciptakan tatanan baru melekat dalam proses pembangunan tatanan itu sendiri. Paus Paulus VI sekaligus menegaskan peranan jemaat-jemaat Kristiani dalam mengemban tanggung jawab baru ini.

        Pada tahun itu juga, para uskup dari seluruh dunia berkumpul dalam sinode dan menyiapkan pernyataan keadilan di dalam dunia. Dalam dokumen ketiga yang membeberkan pengaruh Gereja yang mendunia, para uskup mengidentifikasikan dinamika Injil dengan harapan-harapan manusia akan dunia yang lebih baik. Para uskup mendesak agar keadilan diusahakan di berbagai lapisan masyarakat, terutama di antara bangsa-bangsa kaya dan kuat, serta bangsa-bangsa yang miskin dan lemah.

Dalam tahun 1981, Paus Yohanes Paulus II, mengeluarkan ensiklik yang berjudul Laborem Exercens. Ensiklik ini membahas makna kerja manusia. Manusia dengan bekerja mengembangkan karya Allah dan memberi sumbangan bagi terwujudnya rencana penyelamatan Allah dalam sejarah. Tenaga kerja harus lebih diutamakan daripada model dan teknologi.

Dalam ensiklik Sallicitudo Rei Socialis (1987), Paus Yohanes Paulus II mengangkat kembali tentang pembangunan yang mengeksploitasi orang-orang kecil. Beliau berbicara tentang struktur-struktur dosa yang membelenggu masyarakat

Dalam ensiklik Contessimus Annus (1991), Paus Yohanes Paulus II mengungkapkan bahwa Gereja hendaknya terus belajar untuk bergumul dengan soal-soal sosial.

 

Mendalami dan Menyadari Pengamalan Ajaran Sosial Gereja di Indonesia

 AJARAN SOSIAL GEREJA DI INDONESIA

Kritik Pdt. Fridalin Ukur kiranya ada benarnya. Keprihatinan Gereja-Gereja terhadap orang-orang miskin di Indonesia, rasanya belum terlalu kuat. Khusus untuk umat Katolik, mungkin saja ajaran-ajaran sosial Gereja belum terlalu dipahami dan diamalkan. Mengapa?


Pertama, Penampilan Gereja di Indonesia lebih merupakan penampilan ibadat daripada penampilan gerakan sosial. Seandainya ada penampilan sosial, hal itu tidak merupakan penampilan utama. Penampilan sosial yang ada sampai sekarang merupakan penampilan sosial karitatif, seperti membantu yang miskin, mencarikan pekerjaan bagi pengangguran, dan sebagainya. Demikian juga, mereka yang datang ke gereja adalah orang-orang yang telah menjadi puas bila dipenuhi kebutuhan pribadinya dengan kegiatan ibadat atau sudah cukup senang dengan memberi dana sejumlah uang bagi mereka yang sengsara. Namun, mencari sebab-sebab mengapa ada pengemis, mengapa ada pengangguran belum dianggap sebagai hal yang berhubungan dengan iman.

Padahal, kita tahu ajaran sosial Gereja lebih mengundang kita untuk tidak merasa kasihan kepada para korban, tetapi mencari sebab-sebab mengapa terjadi korban dan mencari siapa penyebabnya. Mungkin saja bahwa penyebabnya adalah orang-orang yang mengaku beriman Katolik itu sendiri.

Kedua, Warga Gereja Katolik yang hidup kecukupan tidak termasuk di dalam kelompok orang-orang yang benar-benar menderita. Kalaupun ada orang Katolik yang begitu prihatin pada korban, mereka tetap berada sebagai orang lain daripada yang menjadi korban itu sendiri. Mereka merasa tidak terlibat.

Ketiga, Ada orang-orang Katolik yang begitu sadar akan “kekecilannya”, mereka sering berucap: “Kami hanya minoritas….” Kesadaran minoritas itu lebih banyak digunakan untuk tidak berbuat. Itu berarti bahwa kesadaran tersebut digunakan untuk mencari alasan untuk tidak mengadakan perubahan, memaksa diri puas dengan apa yang telah dicapai.

Karena merasa kecil, maka kita tergoda untuk mencari aman pada yang kuat. Dengan demikian, jelas betapa sulitnya untuk melaksanakan ajaran sosial Gereja bila yang dianggap kuat itu justru menjadi penyebab munculnya korban-korban tata sosial yang ada.

Keempat, Karena perkara sosial dijadikan ajaran, maka perkara-perkara sosial tersebut baru menjadi bahan tertulis yang dapat dipelajari, diketahui, dipahami, dipuji, dijadikan bahan seminar, atau dicita-citakan. Padahal, perkara-perkara sosial itu baru memiliki arti jika sudah sampai pada tahap pelaksanaan.

 

Pendalaman tentang Ajaran Sosial

Membaca dan mendengarkan kisah kecil berikut ini:

NELLY GADIS MISKIN

Nelly adalah seorang gadis kecil yang berpakaian compang-camping. Ia gadis jalanan yang selalu mengemis pada lampu merah di depan sebuah gereja. Kadang-kadang ia mengemis di pintu gerbang kompleks gereja kalau umatnya sedang keluar gereja. Ia tinggal dengan neneknya di bawah kolong jembatan, tidak jauh dari gereja itu. Pada suatu hari, Nelly melintas lagi di kompleks gereja itu. Hari itu rupanya ada bazaar di halaman gereja. Di sana dijual berbagai jenis pakaian dan makanan murah. Tetapi yang paling menarik minat dan selera Nelly adalah tempat dijual berbagai jenis kue basah dan kue kering. Ia tidak memiliki uang sepeser pun dan dia sangat merasa lapar. Setiap kali ia memandang ke kue-kue itu rasa laparnya seperti melilit-lilit. Ia mencoba mendekat, sekedar untuk dapat melihat lebih jelas. Beberapa orang menepi dan menutup hidung. Dan penjaga bazaar itu pun menghardiknya: “Kamu lihat apa? Sana, pergi!”

Nelly tidak perlu menunggu hardikan yang kedua kalinya. Ia cepat-cepat menyelinap pergi, ia takut. Ia pulang ke kolong jembatan dan tidur. Tidur adalah satu-satunya yang dia tidak perlu beli. Tidur dapat melupakan rasa lapar, tidur dapat melupakan segala kemalangan. Tidur dapat membuat dia bermimpi tentang istana, makanan enak, dan pakaian yang mewah. Antara terjaga dan tidur, ia mendengar sayup-sayup umat Katolik di gereja bernyanyi lagu yang sering dia dengar dan sudah sedikit dia hafal: “Tuhanku dan Gembalaku

 

Seandainya kamu berada di halaman gereja itu dan melihat apa yang terjadi dengan Nelly, tindakan apa yang akan kamu buat? Ingat, sesuai dengan ajaran sosial Gereja, tindakanmu tidak boleh bersifat karitatif melulu, tetapi kamu harus menghargai gadis miskin itu sebagai manusia yang bermartabat!

 

Soal Latihan

  1. Apa bedanya perjuangan Gereja dan perjuangan kaum komunis dalam membantu para buruh?
  2. Mana yang lebih penting: modal, teknologi, atau buruh!? Mengapa?

Rabu, 02 Juni 2021

Gaudium et Spes

 

BAGIAN KEDUA – BEBERAPA MASALAH YANG AMAT MENDESAK

PENDAHULUAN

46. Sesudah menguraikan martabat pribadi manusia, dan untuk menunaikan tugas manakah, baik perorangan maupun kemasyarakatan, ia dipanggil di seluruh dunia, Konsili sekarang bermaksud untuk – dalam terang Injil dan pengalaman manusia – mengarahkan perhatian semua orang kepada berbagai kebutuhan zaman sekarang yang cukup mendesak dan sangat membebani umat manusia.

Di antara sekian banyak hal, yang sekarang ini menimbulkan keprihatinan semua orang, terutama pokok-pokok berikutlah yang seyogyanya diindahkan: perkawinan dan keluarga, kebudayaan manusiawi, kehidupan sosial-ekonomi dan politik, perserikatan keluarga besar para bangsa dan perdamaian. Semoga mengenai masing-masing bidang itu menjadi jelaslah asas-asas pembawa terang yang bersumber pada Kristus, sehingga umat beriman kristen dibimbing olehNya, dan semua orang diterangi dalam mencari pemecahan bagi sekian banyak masalah yang rumit.

BAB SATU – MARTABAT PERKAWINAN DALAM KELUARGA

47. (perkawinan dan keluarga dalam dunia zaman sekarang)

Keselamatan pribadi maupun masyarakat manusiawi dan kristiani erat berhubungan dengan kesejahteraan rukun perkawinan dan keluarga. Maka umat kristiani, bersama dengan siapa saja yang menjunjung tinggi rukun hidup itu, dengan tulus hati bergembira tentang pelbagai upaya, yang sekarang ini membantu orang-orang untuk makin mengembangkan rukun cinta kasih itu dan menghayatinya secara nyata, dan menolong para suami-istri serta orang tua dalam menjalankan tugas mereka yang luhur. Lagi pula mereka memang mengharapkan manfaat yang lebih besar lagi dari padanya, dan berusaha meningkatkannya.

Akan tetapi tidak di mana-mana martabat lembaga itu sama-sama berseri semarak, sebab disuramkan oleh poligami, malapetaka perceraian, apa yang disebut percintaan bebas, dan cacat-cedera lainnya. Selain itu cinta perkawinan cukup sering dicemarkan oleh cinta diri, gila kenikmatan dan ulah-cara yang tidak halal melawan timbulnya keturunan. Kecuali itu situasi ekonomis, sosio-psikologis dan kemasyarakatan dewasa ini menimbulkan gangguan-gangguan yang tak ringan terhadap keluarga. Akhirnya diwilayah-wilayah tertentu dunia ini dengan cukup prihatin disaksikan munculnya masalah persoalan akibat pertambahan penduduk. Itu semua serba menggelisahkan suara hati. Tetapi gairah kekuatan lembaga perkawinan dan keluarga nampak juga dari kenyataan, bahwa perubahan-perubahan masyarakat yang mendalam sekarang ini, kendati kendala-kendala yang bermunculan dari padanya, seringkali toh dengan pelbagai cara menampilkan hakekat sejati lembaga itu.

Oleh karena itu Konsili bermaksud menjelaskan berbagai pokok ajaran Gereja, dan dengan demikian menerangi serta meneguhkan umat kristiani dan semua orang, yang berusaha membela dan mengembangkan martabat asli maupun nilai luhur dan kesucian status perkawinan.

48. (Kesucian perkawinan dan keluarga)

Persekutuan hidup dan kasih suami-isteri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat di tarik kembali. Demikianlah karena tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan isteri, timbullah suatu lembaga yang mendapat keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan ketetapan ilahi. Ikatan suci demi kesejahteraan suami-isteri dan anak maupun masyarakat itu, tidak tergantung dari manusiawi semata-mata. Allah sendirilah Pencipta perkawinan, yang mencakup berbagai nilai dan tujuan[105]. Itu semua penting sekali bagi kelangsungan umat manusia, bagi pertumbuhan pribadi serta tujuan kekal masing-masing anggota keluarga, bagi martabat, kelestarian, damai dan kesejahteraan keluarga sendiri maupun seluruh masyarakat manusia. Menurut sifat kodratinya lembaga perkawinan sendiri dan cinta kasih suami-isteri tertujukan kepada lahirnya keturunan serta pendidikannya, dan sebagai puncaknya bagaikan dimahkotai olehnya. Maka dari itu pria dan wanita, yang karena janji perkawinan “bukan lagi dua, melainkan satu daging” (Mat 19:6), saling membantu dan melayani berdasarkan ikatan mesra antara pribadi dan kerja sama; mereka mengalami dan dari hari ke hari makin memperdalam rasa kesatuan mereka. Persatuan mesra itu, sebagai saling serah diri antara dua pribadi, begitu pula kesejahteraan anak-anak, menuntut kesetiaan suami isteri yang sepenuhnya, dan menjadikan tidak terceraikannya kesatuan mereka mutlak perlu[106].

Kristus Tuhan melimpahkan berkat-Nya atas cinta kasih yang beraneka ragam itu, yang berasal dari sumber ilahi cinta kasih, dan terbentuk menurut pola persatuan-Nya dengan Gereja. Sebab seperti dulu Allah menghampiri bangsa-Nya dengan perjanjian kasih dan kesetiaan[107], begitu pula sekarang Penyelamat umat manusia dan Mempelai Gereja[108], melalui sakramen perkawinan menyambut suami-isteri kristiani. Selanjutnya Ia tinggal berserta mereka supaya seperti Ia sendiri mengasihi Gereja dan menyerahkan Diri untuknya[109], begitu pula suami-isteri dengan saling menyerahkan diri saling mengasihi dengan kesetiaan tak kunjung henti. Kasih sejati suami-isteri ditampung dalam cinta ilahi, dan dibimbing serta diperkaya berkat daya penebusan Kristus serta kegiatan Gereja yang menyelamatkan, supaya suami-isteri secara nyata diantar menuju Allah, lagi pula dibantu dan diteguhkan dalam tugas mereka yang luhur sebagai ayah dan ibu[110]. Oleh karena itu suami-isteri kristiani dikuatkan dan bagaikan dikuduskan untuk tugas-kewajiban maupun martabat status hidup mereka dengan sakramen yang khas[111]. Berkat kekuatannyalah mereka menunaikan tugas mereka sebagai suami-isteri dalam keluarga; mereka dijiwai semangat Kristus, yang meresapi seluruh hidup mereka dengan iman, harapan dan cinta kasih; mereka makin mendekati kesempurnaan mereka dan makin saling menguduskan, dan dengan demikian bersama-sama makin memuliakan Allah.

Maka dari itu, mengikuti teladan orang tua dan berkat doa keluarga, anak-anak, bahkan semua yang hidup dilingkungan keluarga, akan lebih mudah menemukan jalan perikemanusiaan, keselamatan dan kesucian. Suami-isteri yang mengemban martabat serta tugas kebapaan dan keibuan, akan melaksanakan dengan tekun kewajiban memberi pendidikan terutama dibidang keagamaan, yang memang pertama-tama termasuk tugas mereka.

Anak-anak, selaku anggota keluarga yang hidup, dengan cara mereka sendiri ikut serta menguduskan orang tua mereka. Sebab mereka akan membalas budi kepada orangtua dengan rasa syukur terima kasih, cinta mesra serta kepercayaan mereka, dan seperti layaknya bagi anak-anak akan membantu orang tua di saat-saat kesukaran dan dalam kesunyian usia lanjut. Status janda, yang sebagai kelangsungan panggilan berkeluarga ditanggung dengan keteguhan hati, hendaknya dihormati oleh semua orang[112]. Hendaknya keluarga dengan kebesaran jiwa berbagi kekayaan rohani juga dengan keluarga-keluarga lain. Maka dari itu keluarga kristiani, karena berasal dari pernikahan, yang merupakan gambar dan partisipasi perjanjian cinta kasih antara Kristus dan Gereja[113], akan menampakkan kepada semua orang kehadiran Sang Penyelamat yang sungguh nyata di dunia dan hakekat Gereja yang sesungguhnya, baik melalui kasih suami-isteri, melalui kesuburan yang dijiwai semangat berkorban, melalui kesatuan dan kesetiaan, maupun melalui kerja sama yang penuh kasih antara semua anggotanya.

49. (Cinta kasih suami-isteri)

Sering kali para mempelai dan suami-isteri diundang oleh sabda ilahi, untuk memelihara dan memupuk janji setia mereka dengan cinta yang murni dan perkawinan mereka dengan kasih yang tak terbagi[114]. Cukup banyak orang zaman sekarang amat menghargai pula cinta kasih sejati antara suami dan isteri, yang diungkapkan menurut adat-istiadat para bangsa dan kebiasaan zaman yang terhormat. Cinta kasih itu, karena sifatnya sungguh sangat manusiawi, dan atas gairah kehendak dari pribadi menuju kepada pribadi, mencakup kesejahteraan seluruh pribadi; maka mampu juga memperkaya ungkapan-ungkapan jiwa maupun raga dengan keluhuran yang khas, serta mempermuliakannya dengan unsur dan tanda-tanda istimewa persahabatan suami-isteri. Tuhan telah berkenan menyehatkan, menyempurnakan dan mengangkat cinta kasih itu dengan kurnia istimewa rahmat dan kasih sayang. Cinta seperti itu memadukan segi manusiawi dan ilahi, mengantar suami-isteri kepada serah diri bebas dan timbal balik, yang dibuktikan dengan perasaan dan tindakan mesra, serta meresapi seluruh hidup mereka[115]. Bahkan cinta itu makin sempurna dan berkembang karena kemurahan hati yang rela berjerih payah. Oleh karena itu jauh lebih unggul dari rasa tertarik yang erotis melulu, yang ditumbuhkan dalam cinta diri, dan menghilang dengan cepat dan amat menyedihkan.

Cinta kasih itu secara istimewa diungkapkan dan disempurnakan dengan tindakan yang khas bagi perkawinan. Maka dari itu tindakan-tindakan, yang secara mesra dan murni menyatukan suami-isteri, harus dipandang luhur dan terhormat; bila dijalankan secara sungguh manusiawi, tindakan-tindakan itu menandakan serta memupuk penyerahan diri timbal balik, cara mereka saling memperkaya dengan hati gembira dan rasa syukur. Cinta kasih itu, yang dikukuhkan dengan bakti timbal-balik, dan terutama dikuduskan berkat sakramen Kristus, dalam suka maupun duka, dengan jiwa maupun raga, tetap setia tak terpisahkan; oleh karena itu tetap terhindarkan dari setiap perzinahan dan perceraian. Lagi pula, karena kesamaan martabat pribadi antara suami dan isteri, yang harus tampil dalam kasih sayang timbal-balik dan penuh-purna, jelas sekali nampaklah kesatuan perkawinan yang dikukuhkan oleh Tuhan. Untuk tetap lestari menunaikan tugas-tugas yang tercantum dalam panggilan kristiani itu, diperlukan tingkat keutamaan yang tinggi. Oleh karena itu suami-isteri, diteguhkan oleh rahmat untuk perihidup yang suci, hendaknya dengan tekun mengembangkan kebesaran jiwa dan semangat berkorban, serta memohonnya dalam doa.

Cinta kasih suami-isteri yang sejati akan dijunjung lebih tinggi, pun juga akan terbentuk pandangan umum yang sehat tentangnya, bila suami-isteri kristiani sungguh menonjol karena kesaksian kesetiaan dan keserasian dalam cinta itu, dan karena penuhnya perhatian mereka dalam mendidik anak-anak. Pasti cinta itu memainkan peranannya juga dalam pembaharuan budaya, psikologis dan sosial, yang memang dibutuhkan bagi perkawinan dan hidup berkeluarga. Hendaknya kaum muda pada saatnya menerima penyuluhan yang sesuai tentang martabat cinta kasih suami-isteri, tentang peranan dan pelaksanaannya, paling baik dalam pangkuan keluarga sendiri, supaya mereka, berkat pembinaan dalam kemurnian, pada saat yang tepat dapat beralih dari masa pertunangan yang dilewati secara terhormat kepada pernikahan.

50. (kesuburan perkawinan)

Menurut hakekatnya perkawinan dan cinta kasih suami-isteri tertujukan kepada adanya keturunan serta pendidikannya. Memang anak-anak merupakan kurnia perkawinan yang paling luhur, dan besar sekali artinya bagi kesejahteraan orang tua sendiri. Allah sendiri bersabda: “tidak baiklah manusia hidup seorang diri” (Kej 2:18); lagi: “Dia … yang sejak semula menciptakan manusia pria dan wanita” (Mat 19:4). Ia bermaksud mengizinkan manusia, untuk secara khusus ikut serta dalam karya penciptaan-Nya sendiri, dan memberkati pria maupun wanita sambil berfirman: “Beranak-cucu dan bertambah banyaklah” (Kej 1:28). Oleh karena itu pengembangan kasih suami-isteri yang sejati, begitu pula seluruh tata-hidup berkeluarga yang bertumpu padanya, – tanpa memandang kalah penting tujuan-tujuan perkawinan lainnya, – bertujuan supaya suami-isteri bersedia dengan penuh keberanian bekerja sama dengan cinta kasih Sang Pencipta dan Penyelamat, yang melalui mereka makin memperluas dan memperkaya keluarga-Nya.

Dalam tugas menyalurkan hidup manusiawi serta mendidiknya, yang harus dipandang sebagai perutusan mereka yang khas, suami isteri menyadari diri sebagai mitra kerja cinta kasih Allah pencipta dan bagaikan penterjemah-Nya. Maka dari itu hendaknya mereka menunaikan tugas mereka penuh tanggung jawab manusiawi serta kristiani. Hendaknya mereka penuh hormat dan patuh-taat kepada allah, sehati sejiwa dan dalam kerja sama, membentuk pendirian yang sehat, sambil mengindahkan baik kesejahteraan mereka sendiri maupun kesejahteraan anak-anak, baik yang sudah lahir maupun yang mereka perkirakan masih akan ada; sementara itu hendaknya mereka mempertimbangkan juga kondisi-kondisi zaman dan status hidup mereka yang bersifat jasmani maupun rohani; akhirnya hendaknya mereka memperhitungkan kesejahteraan rukun keluarga, masyarakat di dunia, serta Gereja sendiri. Penilaian itu pada dasarnya suami-isterilah yang wajib mengadakan di hadapan Allah. Hendaknya suami-isteri kristiani dalam cara mereka bertindak menyadari, bahwa mereka tidak dapat mengambil langkah-langkah semaunya sendiri saja; tetapi harus selalu dituntun oleh suara hati, yang harus disesuaikan dengan hukum ilahi sendiri; mereka harus menganut bimbingan Wewenang Mengajar Gereja, yang dalam terang Injil memberi tafsiran otentik kepada hukum itu. Hukum ilahi itu menunjukkan makna sepenuhnya cinta kasih suami-isteri, melindunginya, serta mendorong ke arah penyempurnaan yang sungguh manusiawi. Begitulah suami-isteri kristiani, penuh kepercayaan akan penyelenggaraan ilahi dan sambil mengembangkan semangat berkorban[116], meluhurkan Sang Pencipta dan menuju kesempurnaan dalam Kristus bila mereka atas tanggung jawab manusiawi maupun kristiani yang diwarnai kebesaran jiwa menunaikan tugas mereka mengadakan keturunan. Diantara suami-isteri, yang secara demikian memenuhi tugas yang diserahkan oleh Allah kepada mereka, secara khas layak dikenangkan mereka, yang berdasarkan pertimbangan bersama yang bijaksana, dengan jiwa yang besar sanggup menerima keturunan untuk dididik sebagaimana seharusnya, jika dalam jumlah yang besar[117].

Akan tetapi perkawinan bukan hanya diadakan demi adanya keturunan saja. Melainkan hakekat janji antar pribadi yang tak dapat di batalkan, begitu pula kesejahteraan anak, menuntut supaya cinta kasih timbal-balik antara suami isteri diwujudkan secara tepat, makin berkembang dan menjadi masak. Maka dari itu, juga bila keturunan, yang sering begitu diinginkan, tidak kunjung datang, perkawinan tetap bertahan sebagai rukun hidup yang lestari serta persekutuan hidup, dan tetap mempunyai nilainya serta tidak dapat dibatalkan.

51. (Penyelarasan cinta kasih suami-isteri dengan sikap hormat terhadap hidup manusia)

Konsili memahami, bahwa dalam mengatur hidup perkawinan secara laras-serasi suami-isteri sering dihambat oleh berbagai situasi hidup zaman sekarang, dan dapat mengalami kenyataan-kenyataan, yang tidak mengijinkan jumlah anak, setidak-tidaknya untuk sementara; begitu pula kesetiaan cinta kasih dan penuhnya persekutuan hidup sering tidak mudah dipertahankan. Padahal, bila kemesraan hidup bekeluarga terputus, tidak jarang nilai kesetiaan terancam dan kesejahteraan anak dihancurkan. Sebab dalam situasi itu pendidikan anak-anak, begitu pula keberanian untuk masih menerima tambahan anak, dibahayakan.

Ada yang memberanikan diri memecahkan soal-soal itu dengan cara yang tidak pantas, bahkan tidak merasa enggan untuk menjalankan pembunuhan. Tetapi Gereja mengingatkan, bahwa tidak mungkin ada pertentangan yang sesungguhnya antara hukum-hukum ilahi tentang penyaluran hidup dan usaha dan memupuk cinta kasih suami-isteri yang sejati.

Sebab Allah, Tuhan kehidupan, telah mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat. Pengguguran dan pembunuhan anak merupakan tindak kejahatan yang durhaka. Seksualitas yang ada pada manusia, begitu pula kemampuan manusiawi untuk melahirkan keturunan, secara mengagumkan mengatasi apa saja yang terdapat pada taraf-taraf kehidupan yang lebih rendah. Oleh karena itu tindakan yang khas bagi hidup perkawinan sendiri, yang diatur sesuai dengan martabat manusiawi yang sejati, wajib di hadapi dengan sikap hormat yang sungguh mendalam. Maka, bila soalnya bagaimana menyelaraskan cinta kasih suami-isteri dengan penyaluran kehidupan secara bertanggung jawab, moralitas cara bertindak tidak hanya tergantung dari maksud yang tulus atau penilaian alasan-alasannya saja. Moralitas itu harus ditentukan berdasarkan norma-norma yang objektif, dan dijabarkan dari hakekat pribadi serta tindakan-tindakannya; dan norma-norma itu menghormati arti sepenuhnya yang ada pada saling penyerahan diri dan pada keturunan manusiawi, dalam konteks cinta kasih yang sejati. Itu semua tidak mungkin, kalau keutamaan kemurnian dalam perkawinan tidak diamalkan dengan tulus hati. Putera-puteri Gereja, yang berpegang teguh pada azas-azas itu, dalam mengatur keturunan tidak boleh menempuh cara-cara, yang ditolak oleh Wewenang Mengajar Gereja dalam menguraikan hukum ilahi[118].

Hendaknya semua saja menyadari, bahwa hidup manusia dan tugas menyalurkannya tidak terbatas pada dunia ini melulu, pun tidak dapat diukur dan dimengerti hanya dengan itu saja, melainkan selalu menyangkut tujuan kekal manusia.

52. (Pengembangan perkawinan dan keluarga merupakan tugas semua orang)

Keluarga merupakan suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan. Supaya keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi hati penuh kebaikan, kesepakatan suami-isteri, dan kerja sama orang tua yang tekun dalam pendidikan anak-anak. Kehadiran aktif ayah sangat membantu pembinaan mereka tetapi juga pengurusan rumah tangga oleh ibu, yang terutama dibutuhkan oleh anak-anak yang masih muda, perlu dijamin, tanpa maksud supaya pengembangan peranan sosial wanita yang sewajarnya dikesampingkan. Melalui pendidikan hendaknya anak-anak dibina sedemikian rupa, sehingga nanti bila sudah dewasa mereka mampu penuh tanggung jawab mengikuti panggilan mereka, juga panggilan religius, serta memilih status hidup mereka. Maksudnya juga, supaya bila kemudian mereka mengikat diri dalam pernikahan, mereka mampu membangun keluarga sendiri dalam kondisi-kondisi moril, sosial dan ekonomis yang menguntungkan. Merupakan kewajiban orang tua atau para pengasuh, membimbing mereka yang lebih muda dalam membentuk keluarga dengan nasehat bijaksana, yang dapat mereka terima dengan senang hati; tetapi hendaknya para pendidik itu menjaga, jangan sampai mendorong mereka melalui paksaan langsung atau tidak langsung, untuk mengikat pernikahan atau memilih orang tertentu menjadi jodoh mereka.

Demikianlah keluarga, lingkup berbagai generasi bertemu dan saling membantu untuk meraih kebijaksanaan yang lebih penuh, dan untuk memperpadukan hak-hak pribadi-pribadi dengan tuntutan-tuntutan hidup sosial lainnya, merupakan dasar bagi masyarakat. Maka dari itu siapa saja, yang mampu mempengaruhi persekutuan-persekutuan dan kelompok-kelompok sosial, wajib memberi sumbangan yang efektif untuk mengembangkan perkawinan dan hidup berkeluarga. Hendaknya pemerintah memandang sebagai kewajibannya yang suci: mengakui, membela dan menumbuhkan jati diri perkawinan dan keluarga, melindungi tata susila umum dan mendukung kesejahteraan rumah tangga, Hak orang tua untuk melahirkan keturunan dan medidiknya dalam pangkuan keluarga harus dilindungi. Hendaknya melalui perundang-undangan yang bijaksana serta pelbagai usaha lainnya juga mereka yang malang, karena tidak mengalami kehidupan keluarga, dilindungi dan diringankan beban mereka dengan bantuan yang mereka perlukan.

Hendaknya umat beriman kristiani, sambil menggunakan waktu yang ada[119] dan membeda-bedakan yang kekal dari bentuk-bentuk yang dapat berubah, dengan tekun mengembangkan nilai-nilai perkawinan dan keluarga, baik melalui kesaksian hidup mereka sendiri maupun melalui kerja sama dengan sesama yang berkehendak baik. Dengan demikian mereka mencegah kesukaran-kesukaran, dan mencukupi kebutuhan-kebutuhan keluarga serta menyediakan keuntungan-keuntungan baginya sesuai dengan tuntutan zaman sekarang. Untuk mencapai tujuan itu semangat kristiani umat beriman, suara hati moril manusia, begitu pula kebijaksanaan serta kemahiran mereka yang menekuni ilmu-ilmu suci, akan banyak membantu.

Para pakar ilmu-pengetahuan, terutama dibidang biologi, kedokteran, sosial dan psikologi, dapat berjasa banyak bagi kesejahteraan perkawinan dan keluarga serta bagi ketenangan suara hati, bila – dengan memadukan hasil studi mereka – mereka berusaha menjelaskan secara makin mendalam pelbagai kondisi yang mendukung pengaturan kelahiran manusia yang dapat di pertanggung jawabkan.

Termasuk tugas para imam, untuk – berbekalkan pengetahuan yang memadai tentang hidup berkeluarga – mendukung panggilan suami-isteri dengan pelbagai upaya pastoral, pewartaan sabda Allah, ibadat liturgis maupun bantuan-bantuan rohani lainnya dalam hidup perkawinan dan keluarga mereka. Tugas para imam pula, untuk dengan kebaikan hati dan dengan sabar meneguhkan mereka ditengah kesukaran-kesukaran, serta menguatkan mereka dalam cinta kasih, supaya terbentuklah keluarga-keluarga yang sungguh-sungguh berpengaruh baik.

Pelbagai karya, terutama himpunan-himpunan keluarga, hendaknya berusaha meneguhkan kaum muda dan para suami-isteri sendiri, terutama yang baru menikah, dengan ajaran maupun kegiatan, hidup kemasyarakatan dan kerasulan.

Akhirnya hendaknya para suami-isteri sendiri, yang diciptakan menurut gambar Allah yang hidup dan ditempatkan dalam tata-hubungan antar pribadi yang otentik, bersatu dalam cinta kasih yang sama, bersatu pula dalam usaha saling menguduskan[120], supaya mereka, – dengan mengikuti Kristus sumber kehidupan[121], di saat-saat gembira maupun pengorbanan dalam panggilan mereka, karena cinta kasih mereka yang setia, – menjadi saksi-saksi misteri cinta kasih, yang oleh Tuhan diwahyukan kepada dunia dalam wafat dan kebangkitan-Nya[122].

BAB DUA – PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN

53. (Pendahuluan)

Termasuk ciri pribadi manusia, bahwa ia hanya dapat menuju kepenuhan kemanusiaannya yang sejati melalui kebudayaan, yakni dengan memelihara apa yang serba baik dan bernilai pada kodratnya. Maka dimanapun dibicarakan hidup manusia, kodrat dan kebudayaan erat sekali.

Pada umumnya dengan istilah “kebudayaan” dimaksudkan segala sarana dan upaya manusia untuk menyempurnakan dan mengembangkan pelbagai bakat-pembawaan jiwa-raganya. Ia berusaha menguasai alam semesta dengan pengetahuan maupun jerih payahnya. Ia menjadikan kehidupan sosial, dalam keluarga maupun dalam seluruh masyarakat, lebih manusiawi melalui kemajuan tata susila dan lembaga-lembaga. Akhirnya di sepanjang masa ia mengungkapkan, menyalurkan dan melestarikan pengalaman-pengalaman rohani serta aspirasi-aspirasinya yang besar melalui karya-karyanya, supaya berfaedah bagi kemajuan banyak orang, bahkan segenap umat manusia.

Oleh karena itu mau tak mau kebudayaan manusia mencakup dimensi historis dan sosial, dan istilah “kebudayaan” seringkali mengandung arti sosiologis dan etnologis. Dalam arti itulah orang berbicara tentang kemacam-ragaman kebudayaan. Sebab dari pelbagai cara menggunakan bermacam-macam hal, menjalankan pekerjaan dan mengungkapkan diri, menghayati agama dan membina tata susila, menetapkan undang-undang dan membentuk lembaga-lembaga hukum, memajukan ilmu-pengetahuan serta kesenian, dan mengelola keindahan, muncullah pelbagai kondisi hidup yang umum serta pelbagai cara menata nilai-nilai kehidupan. Begitulah dari tata hidup yang diwariskan muncullah pusaka nilai-nilai yang khas bagi setiap masyarakat manusia. Begitu pula terwujudlah lingkungan hidup tertentu dengan corak historisnya sendiri, yang menampung manusia dari berbagai zaman manapun, dan yang menjadi sumber nilai-nilai untuk mengembangkan kebudayaan manusia serta masyarakat.

ARTIKEL SATU – SITUASI KEBUDAYAAN PADA ZAMAN SEKARANG

54. (Pola-pola hidup baru)

Ditinjau dari sudut sosial dan budaya kondisi-kondisi hidup manusia modern telah berubah secara mendalam sedemikian rupa, sehingga orang dapat berbicara tentang zaman baru sejarah manusia[123]. Maka untuk mengembangkan dan menyebarluaskan kebudayaan terbukalah cara-cara baru. Cara-cara itu tersediakan berkat perkembangan luar biasa ilmu-pengetahuan alam dan manusia, juga ilmu-ilmu sosial, perkembangan teknologi, begitu pula kemajuan dalam pengembangan serta penataan penggunaan upaya-upaya komunikasi antar manusia. Karena itulah kebudayaan modern ditandai ciri-ciri khas: ilmu-ilmu yang disebut “eksakta”sangat mengembangkan penilaian kritis; penelitian-penelitian di bidang psikologis akhir-akhir ini memberi penjelasan lebih mendalam tentang kegiatan manusiawi; ilmu-ilmu sejarah besar jasanya untuk menelaah kenyataan-kenyataan dari segi perubahan serta perkembangannya; kebiasaan-kebiasaan hidup serta adat-istiadat menjadi semakin seragam; industrialisasi, urbanisasi, dan sebab-sebab lain, yang meningkatkan kebersamaan hidup, menciptakan pola-pola budaya baru (“mass culture“, “kebudayaan massa”), yang menimbulkan cara-cara baru menyangkut perasaan, tindakan dan penggunaan waktu terluang; serta merta meningkatkan pertukaran antara pelbagai bangsa dan golongan-golongan masyarakat semakin lebar membuka khazanah pelbagai bentuk kebudayaan bagi semua dan setiap orang, dan dengan demikian lambat-laun disiapkan pola kebudayaan yang lebih umum, lagi pula semakin mempererat dan mengungkapkan kesatuan umat manusia, bila makin dihormati ciri-ciri khas pelbagai kebudayaan.

55. (Manusia pencipta kebudayaan)

Semakin besarlah jumlah pria maupun wanita dari golongan serta bangsa mana pun juga, yang menyadari bahwa merekalah ahli-ahli serta pencipta-pencipta kebudayaan masyarakat mereka. Di seluruh dunia makin meningkatlah kesadaran akan otonomi dan tanggung jawab; dan itu penting sekali bagi kemasakan rohani maupun moril umat manusia. Itu semakin jelas, bila kita sadari proses menyatunya dunia serta tugas panggilan kita, untuk membangun dunia yang lebih baik dalam kebenaran dan keadilan. Maka demikianlah kita menjadi saksi lahirnya humanisme baru; di situlah manusia pertama-tama ditandai oleh tanggung jawabnya atas sesamanya maupun sejarahnya.

56. (Kesukaran-kesukaran dan tugas-tugas)

Dalam situasi itu tidak mengherankanlah, bahwa manusia, yang menyadari tanggung jawabnya atas kemajuan kebudayaan, memupuk harapan yang lebih luhur, tetapi dengan hati yang cemas pula menyaksikan adanya banyak pertentangan-pertentangan yang masih harus diatasinya.

Apakah yang perlu diusahakan, supaya pertukaran kebudayaan yang lebih intensif, yang sebenarnya harus mendorong pelbagai golongan dan bangsa ke arah dialog yang sejati dan subur, jangan justru mengacaukan kehidupan masyarakat, atau menumbangkan kebijaksanaan para leluhur, atau membahayakan watak-perangai bangsa-bangsa yang khas?

Bagaimanakah dinamisme dan meluas-ratanya kebudayaan baru harus didukung, tanpa menyebabkan musnahnya kesetiaan yang hidup terhadap pusaka tradisi-tradisi? Hal itu secara khas terasa mendesak, bila kebudayaan, yang lahir dari pesatnya kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi, perlu dipadukan dengan kebudayaan, yang pengembangannya bertumpu pada studi klasik menurut pelbagai tradisi.

Bagaimana penyebaran ilmu-ilmu khusus, yang begitu cepat dan terus meningkat, dapat diserasikan dengan keharusan mewujudkan sintesa atau perpaduannya, begitu pula dengan keharusan melestarikan pada manusia kemampuan untuk kontemplasi dan rasa kagum yang mengantar kepada kebijaksanaan?

Apakah yang harus diusahakan, supaya semua orang ikut memanfaatkan nilai-nilai budaya di dunia, sedangkan sekaligus kebudayaan mereka yang lebih ahli selalu menjadi makin unggul dan kompleks?

Akhirnya bagaimanakah harus dipandang wajar otonomi yang di “claim” oleh kebudayaan, tanpa merosot menjadi humanisme yang duniawi melulu, bahkan melawan agama sendiri?

Di tengah pertentangan-pertentangan itu kebudayaan zaman sekarang harus ditumbuhkan sedemikian rupa, sehingga mengembangkan pribadi manusia seutuhnya secara seimbang, dan membantunya dalam tugas-tugas, yang pelaksanaannya merupakan panggilan semua orang terutama umat beriman kristen, yang bersatu sebagai saudara-saudari dalam kesatuan keluarga manusia.

ARTIKEL DUA – BERBAGAI KAIDAH UNTUK DENGAN TEPAT MENGEMBANGKAN KEBUDAYAAN

57. (Iman dan kebudayaan)

Dalam ziarah mereka menuju Kota Sorgawi umat beriman kristen harus mencari dan memikirkan perkara-perkara yang diatas[124]. Dengan demikian tidak berkuranglah, melainkan justru semakin pentinglah tugas mereka untuk bersama dengan semua orang berusaha membangun dunia secara lebih manusiawi. Sesungguhnyalah misteri iman kristen memberi mereka dorongan dan bantuan yang amat berharga untuk secara lebih intensif menunaikan tugas itu, dan terutama untuk menemukan makna sepenuhnya jerih-payah mereka itu, sehingga kebudayaan mendapat tempatnya yang luhur dalam keseluruhan panggilan manusia.

Sebab bila manusia dengan karya tangannya maupun melalui teknologi mengelola alam, supaya menghasilkan buah dan menjadi kediaman yang layak bagi segenap keluarga manusia, dan bila ia dengan sadar memainkan peranannya dalam kehidupan kelompok-kelompok sosial, ia melaksanakan rencana Allah yang dimaklumkan pada awal mula, yakni menaklukkan dunia[125] serta menyempurnakan alam ciptaan, dan mengembangkan dirinya. Sekaligus ia mematuhi perintah Kristus yang mulia untuk mengabdikan diri kepada sesama.

Selain itu, bila manusia menekuni pelbagai ilmu filsafat, sejarah serta ilmu matematika dan fisika, serta mengembangkan kesenian, ia dapat berjasa sungguh besar, sehingga keluarga manusia terangkat kepada nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan serta kepada suatu visi yang bernilai universal, dan dengan demikian lebih terang di sinari oleh kebijaksanaan yang mengagumkan, yang sejak kekal ada pada Allah, menghimpun segala sesuatu bersama dengan-Nya, bermain di muka bumi, dan menikmati kehadiran-Nya bersama anak-anak manusia[126].

Dengan sendirinya jiwa manusia makin dibebaskan dari perbudakan harta-benda, dan dapat lebih leluasa mengangkat diri untuk beribadat kepada Sang Pencipta dan berkontemplasi. Bahkan atas dorongan rahmat ia menjadi siap untuk mengenal Sabda Allah, yang sebelum menjadi daging untuk menyelamatkan dan merangkum segala sesuatu dalam Dirinya sebagai Kepala, sudah berada di dunia, sebagai “Terang sejati, yang menyinari setiap orang” (Yoh 1:9)[127].

Memang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi zaman sekarang, yang dengan metodenya tidak mampu menyelami hakekat kenyataan yang sedalam-dalamnya, dapat membuka peluang bagi fenomenisme dan agnostitisme, bila metode penelitian, yang digunakan ilmu-ilmu itu, disalah-artikan sebagai norma tertinggi untuk menemukan seluruh kebenaran. Bahkan ada bahaya, jangan-jangan manusia karena terlampau mengandalkan penemuan-penemuan zaman sekarang, merasa sudah memenuhi kebutuhannya sendiri, dan tidak lagi mendambakan nilai-nilai yang lebih luhur.

Akan tetapi konsekuensi-konsekuensi yang malang itu tidak dengan sendirinya timbul dari kebudayaan zaman sekarang; tidak boleh pula menjerumuskan kita ke dalam godaan, untuk tidak mengakui nilai-nilai positifnya. Di antaranya yang dapat disebutkan: usaha mengembangkan ilmu-pengetahuan dan kesetiaan yang cermat terhadap kebenaran dalam penelitian-penelitian ilmiah, keharusan bekerja sama dengan rekan-rekan dalam kelompok-kelompok teknik, semangat solidaritas internasional, kesadaran semakin hidup para pakar akan tanggung jawab mereka untuk membantu dan bahkan melindungi sesama, kemauan untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup bagi semua orang, terutama bagi mereka yang dirampas tanggung jawabnya atau tertekan akibat kemiskinan budaya. Itu semua dapat menimbulkan suatu disposisi untuk menerima amanat Injil, dan kesiapan itu dapat dijiwai dengan cinta kasih ilahi oleh Dia yang telah datang untuk menyelamatkan dunia.

58. (Hubungan antara Warta Gembira tentang Kristus dan kebudayaan manusia)

Ada bermacam-macam hubungan antara Warta Keselamatan dan kebudayaan. Sebab Allah, yang mewahyukan Dirinya sepenuhnya dalam Putera-Nya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman.

Begitu pula Gereja, yang di sepanjang zaman hidup dalam pelbagai situasi, telah memanfaatkan sumber-sumber aneka budaya, untuk melalui pewartaannya menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan Kristus kepada semua bangsa, untuk menggali dan makin menyelaminya, serta untuk mengungkapkannya secara lebih baik dalam perayaan liturgi dan dalam kehidupan jemaat beriman yang beranekaragam.

Tetapi sekaligus juga Gereja, yang diutus kepada semua bangsa dari segala zaman dan di daerah mana pun, tidak terikat secara eksklusif tak terceraikan kepada suku atau bangsa mana pun, kepada corak hidup yang khas mana pun, kepada adat istiadat entah yang lama entah yang baru. Seraya berpegang teguh pada tradisinya sendiri, pun sekaligus menyadari perutusannya yang universal, Gereja mampu menjalin persekutuan dengan pelbagai pola kebudayaan. Dengan demikian baik Gereja sendiri maupun pelbagai kebudayaan diperkaya.

Kabar baik tentang Kristus tiada hentinya membaharui perihidup dan kebudayaan manusia yang jatuh berdosa, dan melawan serta memberantas kesesatan-kesesatan dan kemalangan, yang bersumber pada bujukan doa yang tak kunjung henti merupakan ancaman. Warta itu terus-menerus menjernihkan dan mengangkat adat-istiadat para bangsa. Warta itu bagaikan dari dalam menyuburkan harta semarak jiwa serta bakat-pembawaan setiap bangsa dan setiap masa dengan kekayaan adikodrati, meneguhkannya, melengkapinya, dan membaharuinya dalam Kristus[128]. Begitulah Gereja, dengan menunaikan tugasnya sendiri[129], sudah dengan sendirinya menjalankan peransertanya, dan mendorong ke arah kebudayaan manusia dan masyarakat, serta melalui kegiatannya, juga dibidang liturgi, mendidik manusia untuk kebebasan batin.

59. (Mewujudkan keserasian berbagai nilai dalam pola-pola kebudayaan)

Berdasarkan alasan-alasan tadi Gereja mengingatkan kepada siapa saja, bahwa kebudayaan harus diarahkan kepada kesempurnaan pribadi manusia seutuhnya, kesejahteraan paguyuban dan segenap masyarakat manusia. Oleh karena itu perlulah pembinaan jiwa sedemikian rupa, sehingga berkembanglah kemampuan untuk merasa kagum, menyelami sesuatu, merenungkannya, membentuk pendirian pribadi, dan memupuk semangat keagamaan, kesusilaan dan sosial.

Sebab kebudayaan, yang langsung berakar dalam sifat rasional dan sosial manusia, tiada hentinya memerlukan kebebasan yang sewajarnya untuk mengembangkan diri, serta membutuhkan kemampuan yang wajar pula untuk bertindak secara mandiri dan menurut prinsip-prinsipnya sendiri. Maka sudah selayaknya kebudayaan menuntut supaya dihormati, dan arti tertentu tidak dapat diganggu-gugat, tentu saja tanpa merongrong hak-hak pribadi mapun persekutuan, baik yang khas maupun umum, dalam lingkup kesejahteraan masyarakat.

Konsili sekarang ini, mengenangkan apa yang diajarkan oleh Konsili Vatikan Pertama, menyatakan: “ada dua taraf pengetahuan” yang berbeda, yakni iman dan akal-budi; sudah tentu Gereja tidak melarang, bahwa “alam budaya kesenian dan ilmu-pengetahuan manusia … masing-masing dalam lingkupnya menggunakan asas-asas maupun metodenya sendiri”; maka “sambil mengakui kebebasan yang wajar itu”, Konsili menyatakan otonomi kebudayaan, terutama ilmu-pengetahuan, yang sewajarnya[130].

Itu semua meminta juga, supaya manusia, seraya mengindahkan tata nilai moril serta kepentingan masyarakat, dapat dengan leluasa menyelidiki kebenaran dan menyatakan serta menyiarkan pendapatnya, dan mengembangkan kesenian mana pun; akhirnya diisyaratkan pula, bahwa manusia mendapat informasi tentang peristiwa-peristiwa umum dengan kebenaran[131].

Termasuk tugas pemerintah, bukan untuk menetapkan sifat khas bentuk-bentuk kebudayaan, melainkan untuk memupuk kondisi-kondisi dan sumbang-bantuan guna mengembangkan perihidup budaya diantara semua orang, juga diantara kelompok-kelompok minoritas suatu bangsa[132]. Oleh karena itu terutama perlu ditekankan, supaya kebudayaan jangan dialihkan dari tujuannya, pun juga jangan di paksa untuk mengabdi kekuasaan-kekuasaan politik maupun ekonomi.

ARTIKEL TIGA – BEBERAPA TUGAS UMAT KRISTEN YANG CUKUP MENDESAK TENTANG KEBUDAYAAN

60. (Hak atas buah-hasil kebudayaan hendaknya diakui oleh semua dan diwujudkan secara nyata)

Karena sekarang ini terbuka peluang untuk membebaskan jumlah orang yang amat besar dari bencana kebodohan, maka merupakan kewajiban yang cocok sekali dengan zaman sekarang, terutama bagi umat kristen, untuk dengan tekun berdaya-upaya, supaya dibidang ekonomi maupun politik, pada tingkat nasional maupun internasional, diambil keputusan-keputusan fundamental, agar dimanapun juga diakui dan diwujudkan secara nyata hak semua orang atas kebudayaan manusiawi dan sosial, selaras dengan martabat pribadi, tanpa membeda-bedakan suku, pria atau wanita, bangsa, agama atau kondisi sosial. Maka perlu di sediakan kekayaan budaya yang mencukupi bagi semua orang, terutama yang tergolong pada harta budaya yang dianggap “mendasar”, supaya jangan banyak orang lagi – karena buta aksara atau tidak mampu berperanserta secara tanggungjawab – terhalang dari kerja sama yang sungguh manusiawi demi kesejahteraan umum.

Oleh karena itu perlu diperjuangkan, supaya mereka yang cukup cerdas dapat menempuh studi yang lebih tinggi; sedemikian rupa, sehingga dalam masyarakat mereka sedapat mungkin menunaikan tugas-tugas, jabatan-jabatan atau jasa pelayanan, yang sesuai dengan keahlian maupun kemahiran yang telah mereka peroleh[133]. Begitulah setiap orang dan kelompok-kelompok sosial setiap bangsa akan mampu mencapai pemekaran perihidup budaya yang sepenuhnya, serasi dengan bakat-kemampuan serta tradisi-tradisi mereka.

Kecuali itu perlu diusahakan dengan sungguh-sungguh, supaya semua orang menyadari baik haknya atas kebudayaan, maupun kewajibannya yang mengikat, untuk mengembangkan diri dan membantu pengembangan diri sesama. Sebab kadang-kadang ada situasi hidup dan kerja, yang menghambat usaha-usaha manusia di bidang kebudayaan dan menghancurkan seleranya untuk kebudayaan. Hal itu secara khas berlaku bagi para petani dan kaum buruh; bagi mereka itu seharusnya diciptakan kondisi-kondisi kerja sedemikian rupa, sehingga tidak menghambat melainkan justru mendukung pengambangan diri mereka sebagai manusia. Kaum wanita memang sudah berperan serta dalam hampir segala bidang kehidupan. Tetapi seyogyanya mereka mampu menjalankan peranan mereka sepenuhnya menurut sifat kewanitaan mereka. Hendaknya siapa saja berusaha, supaya keterlibatan khas kaum wanita yang diperlukan bagi perihidup budaya diakui dan dikembangkan.

61. (Pendidikan untuk kebudayaan manusia seutuhnya)

Zaman sekarang ini menyusun sintesa pelbagai cabang ilmu-pengetahuan dan kesenian masih sangat sukar dari pada dahulu. Sebab sementara bertambahlah banyak serta beranekanya unsur-unsur yang membentuk kebudayaan, sekaligus berkuranglah kemungkinan bagi setiap orang untuk menangkap dan memadukan itu semua secara organis, sehingga citra “manusia yang universal” semakin menghilang. Akan tetapi setiap orang wajib mempertahankan keutuhan pribadi manusia, yang ditandai nilai-nilai luhur akal budi, kehendak, suara hati dan persaudaraan, yang semuanya di dasarkan pada Allah Pencipta, yang seraya mengagumkan telah disehatkan dan diangkat dalam Kristus.

Terutama keluarga merupakan bagaikan ibu dan pengasuh pendidikan yang menyeluruh. Sebab di situ anak-anak dalam dukungan kasih mesra lebih mudah belajar mengenal tata-susunan nilai-nilai, sedangkan bentuk-bentuk kebudayaan yang teruji seperti dengan sendirinya merasuki jiwa para remaja sementara mereka bertambah umur.

Untuk pendidikan itu masyarakat zaman sekarang menyajikan berbagai peluang, terutama berkat makin menyebarnya kepustakaan dan upaya-upaya komunikasi yang baru di bidang kebudayaan dan sosial, yang dapat mendukung kebudayaan secara keseluruhan. Sebab dengan berkurangnya waktu kerja dimana-mana makin bertambahlah keuntungan-keuntungan bagi banyak orang. Waktu terluang untuk menyegarkan jiwa dan memantapkan kesehatan jiwa-raga hendaknya dimanfaatkan dengan baik, dengan kegiatan-kegiatan dan studi sesuka sendiri, dengan wisata ke daerah-daerah lain (turisme), yang membantu manusia mengembangkan bakat-kemampuannya. Tetapi orang-orang diperkaya juga dengan saling mengenal, dengan latihan-latihan dan perlombaan olah raga, yang membantu untuk menjaga keseimbangan jiwa, juga dalam hidup bersama, begitu pula untuk menjalin hubungan-hubungan persaudaraan antara orang-orang dari segala lapisan dan bangsa serta dari berbagai suku. Oleh karena itu umat beriman kristen hendaknya bekerja sama, supaya ungkapan-ungkapan kebudayaan dan kegiatan-kegiatan kolektif, yang menandai zaman kita sekarang, diresapi oleh semangat manusiawi dan kristiani.

Akan tetapi semua faktor yang menguntungkan itu tidak mampu mewujudkan pendidikan budaya manusia yang seutuhnya, bila sementara itu pertanyaan mendalam tentang makna kebudayaan dan ilmu-pengetahuan bagi pribadi manusia diabaikan.

62. (Menyelaraskan kebudayaan manusia dan masyarakat dengan pendidikan kristen)

Sungguh pun sumbangan Gereja bagi kemajuan kebudayaan sungguh besar, dari pengalaman ternyatalah bahwa – karena sebab-musabab yang sewaktu-waktu mucul – perpaduan kebudayaan dengan pendidikan kristiani tidak selalu berlangsung mulus tanpa kesulitan.

Kesukaran-kesukaran itu tidak dengan sendirinya pasti merugikan kehidupan iman; bahkan dapat merangsang budi untuk mencari pengertian iman yang lebih cermat dan lebih mendalam. Sebab usaha-usaha mengembangkan ilmu-pengetahuan, pengertian tentang sejarah dan filsafat, begitu pula penemuan-penemuan akhir-akhir ini, menimbulkan persoalan-persoalan baru, yang mempunyai konsekuensi-konsekuensinya juga bagi hidup manusia, dan juga mengundang penyelidikan baru oleh para teolog. Kecuali itu mereka, dengan tetap menggunakan metode-metode serta memenuhi tuntutan-tuntutan yang khas bagi ilmu teologi, diajak untuk terus-menerus mencari cara menyajikan ajaran, yang lebih mengena bagi masyarakat sezaman. Sebab lainlah khazanah iman atau kebenaran-kebenaran sendiri, lain lagi cara mengungkapkannya, asal makna maupun artinya tetap sama[134]. Dalam reksa pastoral hendaknya jangan hanya asas-asas teologi, melainkan penemuan-penemuan ilmu-pengetahuan profan jugalah, terutama psikologi dan sosiologi, yang diakui dan digunakan secukupnya, sehingga umat beriman pun diantar kepada kehidupan iman yang lebih murni dan lebih dewasa.

Dengan caranya sendiri pula kesusastraan dan kesenian cukup penting bagi kehidupan Gereja. Sebab keduanya berusaha menyelami kodrat khas manusia, masalah-persoalannya maupun pengalamannya dalam upaya-upayanya mengenal serta menyempurnakan dirinya maupun dunia. Keduanya mencoba menyingkapkan situasi manusia dalam sejarah dan di seluruh dunia, menggambarkan duka-derita maupun kegembiraannya, kebutuhan-kebutuhan maupun daya kekuatannya, serta membayangkan kondisi hidup manusia yang lebih baik. Begitulah keduanya mampu mengangkat hidup manusia, yang terungkapkan dalam pelbagai corak-ragamnya sesuai dengan zaman dan daerah kediamannya.

Oleh karena itu perlu diusahakan, supaya para seniman-seniwati merasa, bahwa mereka dihargai oleh Gereja dalam kejuruan mereka sendiri, lagi pula supaya dengan menikmati kebebasan yang sewajarnya mereka lebih mudah mengadakan pertukaran dengan jemaat kristen. Juga bentuk-bentuk baru kesenian, yang menanggapi selera masyarakat sekarang menurut perangai pelbagai bangsa dan sifat khas daerah-daerah, dihargai oleh Gereja. Hendaknya itu semua mendapat tempat juga di tempat ibadat, bila dengan cara pengungkapan yang disesuaikan, dan selaras dengan tuntutan-tuntutan liturgi, mengangkat hati umat kepada Allah[135].

Demikianlah kemuliaan Allah akan tampil makin cemerlang, dan pewartaan Injil makin jelas bagi daya tangkap manusia, serta nampak bagaikan tumbuh dari dalam kenyataan hidupnya.

Oleh karena itu hendaknya umat beriman dalam pergaulan erat dengan sesama mereka yang semasa, dan berusaha menyelami dengan saksama corak-corak mereka berpikir dan berperasaan, yang terungkapkan melalui kebudayaan. Hendaknya mereka mempertemukan pengetahuan tentang ilmu-ilmu serta teori-teori yang baru, begitu pula penemuan-penemuan yang mutakhir, dengan tata susila kristen maupun cara menyampaikan ajaran kristen , supaya penghayatan agama dan keutuhan moril mereka berjalan sederap dengan ilmu-pengetahuan dan teknologi yang terus maju. Dengan demikian mereka sendiri mampu mempertimbangkan dan menafsirkan segala sesuatu dengan semangat kristen yang utuh.

Mereka yang di Seminari-Seminari dan Universitas-Universitas menekuni ilmu-ilmu teologi hendaknya berusaha bekerja sama dengan para pakar-ilmu pengetahuan lainnya, dengan memperpadukan tenaga maupun pandangan-pandangan mereka. Hendaknya penyelidikan teologis sekaligus berusaha mencapai pengertian yang mendalam tentang kebenaran yang diwahyukan, tanpa kehilangan kontak dengan zamannya, supaya dapat mendampingi para pakar pelbagai ilmu dalam mengembangkan pengetahuan mereka tentang iman. Kerja sama itu akan sangat berfaedah bagi pendidikan para calon imam. Sebab mereka akan lebih mampu menguraikan ajaran Gereja tentang Allah, tentang manusia dan tentang dunia kepada orang-orang zaman sekarang, sehingga mereka juga lebih rela dan terbuka menerima pewartaan itu[136]. Bahkan dihimbau, agar lebih banyak lagi kaum awam yang menerima pendidikan yang memadai dalam ilmu-ilmu gerejawi, dan supaya jangan sedikit pula di antara mereka, yang dengan dedikasi sepenuhnya menempuh dan terus memperdalam studi itu. Adapun supaya umat beriman, baik klerus maupun awam, mampu menunaikan tugas mereka, hendaknya mereka diberi kebebasan yang sewajarnya untuk mengadakan penyelidikan, mengembangkan pemikiran, serta dibidang-bidang keahlian mereka mengutarakan pandangan mereka dengan rendah hati dan dengan tegas[137].

BAB TIGA – KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI

63. (Beberapa segi kehidupan ekonomi)

Juga dalam kehidupan sosial ekonomi martabat manusia pribadi serta panggilannya seutuhnya, begitu pula kesejahteraan seluruh masyarakat, harus dihormati dan dikembangkan. Sebab manusialah yang menjadi pencipta, pusat dan tujuan seluruh kehidupan sosial ekonomi.

Ekonomi zaman sekarang, seperti juga bidang-bidang kehidupan sosial lainnya, ditandai oleh berkembangnya kedaulatan manusia atas alam tercipta; oleh berlipatganda dan makin intensifnya hubungan-hubungan serta ketergantungan timbal-balik, antara warga masyarakat, kelompok-kelompok dan bangsa-bangsa, pun diwarnai juga oleh makin kerapnya campurtangan kekuasaan politik. Sementara itu kemajuan-kemajuan dalam cara berproduksi dan pertukaran harta-benda maupun jasa-jasa, telah menjadikan ekonomi suatu upaya yang cocok, untuk dapat lebih efektif memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga manusia yang semakin bertambah.

Akan tetapi ada juga faktor-faktor yang menimbulkan kegelisahan. Tidak sedikitlah orang, terutama di wilayah-wilayah yang maju perekonomiannya, yang agaknya seperti dikuasai oleh soal ekonomi. Akibatnya ialah, bahwa hampir seluruh hidup mereka secara pribadi dan sebagai anggota masyarakat diresapi oleh semangat “ekonomisme”, baik pada bangsa-bangsa yang mendukung kolektivisme ekonomi, maupun pada bangsa-bangsa lain. Pada saat pertumbuhan perekonomian, asal saja diarahkan dan dikoordinasi secara rasional dan manusiawi, sebenarnya dapat memperlunak ketimpangan-ketimpangan sosial kaum lemah dan perlakuan yang merendahkan kaum miskin. Sementara sebagian amat besar rakyat masih serba kekurangan hal-hal yang mutlak mereka butuhkan, ada sekelompok, juga di daerah-daerah terbelakang, yang hidup serba mewah dan menghambur-hamburkan kekayaannya. Kemewahan berdampingan dengan keadaan yang menyedihkan. Sementara sekelompok kecil mempunyai kekuasaan amat besar untuk mengambil keputusan-keputusan, banyaklah orang yang praktis tidak mempunyai kemungkinan sedikit pun untuk bertindak atas prakarsa dan tanggung jawab sendiri, dan yang sering pula tertekan oleh kondisi-kondisi hidup dan kerja yang tidak pantas bagi pribadi manusia.

Ketimpangan-ketimpangan sosial ekonomi yang serupa terdapat juga antara pertanian, industri dan jasa, begitu juga antara berbagai daerah dalam satu negeri. Pertentangan antara bangsa-bangsa yang lebih maju perekonomiannya dan bangsa-bangsa lainnya semakin meruncing, sehingga dapat membahayakan perdamaian dunia sendiri.

Masyarakat zaman sekarang makin jelas menyadari perbedaan-perbedaan itu, justru karena sungguh-sungguh yakin, bahwa kemungkinan-kemungkinan lebih luas di bidang tehnik dan ekonomi, yang tersedia di dunia sekarang ini, sebenarnya dapat dan memang harus memperbaiki situasi yang malang itu. Maka diperlukan banyak perombakan-perombakan dalam kehidupan sosial ekonomi. Siapa saja membutuhkan perubahan mentalitas dan sikap-sikap. Untuk maksud itulah di sepanjang zaman Gereja dibawah terang Injil telah menggariskan asas-asas keadilan dan kewajaran, sesuai pula dengan tuntutan akal sehat, bagi hidup perorangan maupun sosial, pun juga bagi kehidupan internasional. Prinsip-prinsip itu telah dikemukakannya terutama akhir-akhir ini. Menanggapi situasi zaman sekarang, dan terutama mengindahkan tuntutan-tuntutan kemajuan ekonomi, Konsili bermaksud meneguhkan asas-asas itu, dan mengutarakan beberapa pedoman[138].

ARTIKEL SATU – PERKEMBANGAN EKONOMI

64. (Perkembangan ekonomi melayani manusia)

Untuk menanggapi pertambahan penduduk dan memenuhi aspirasi-aspirasi umat manusia yang makin meningkat, pada zaman sekarang ini, lebih dari sebelumnya, memang tepatlah diusahakan peningkatan produksi di bidang pertanian dan industri seiring penyelenggaraan jasa-jasa. Maka perlu di dukung kemajuan tehnik, semangat pembaharuan, pengadaan dan perluasan usaha-usaha wiraswasta, penyesuaian metode-metode produksi, dan giatnya daya-upaya siapa saja yang terlibat dalam proses produksi: dengan kata lain, semua faktor yang menunjang perkembangan itu. Makna-tujuan yang paling inti produksi itu bukanlah semata-mata bertambahnya hasil produksi, bukan pula keuntungan atau kekuasaan, melainkan pelayanan kepada manusia, yakni manusia seutuhnya, dengan mengindahkan tata urutan kebutuhan-kebutuhan jasmaninya maupun tuntutan-tuntutan hidupnya di bidang intelektual, moral, rohani, rohani dan keagamaan; katakanlah: manusia siapa saja, kelompok manusia mana pun juga, dari setiap suku dan wilayah dunia. Oleh karena itu kegiatan ekonomi harus dilaksanakan menurut metode-metode dan kaidah-kaidahnya sendiri, dalam batas-batas moralitas[139], sehingga terpenuhilah rencana Allah tentang manusia[140].

65. (Kemajuan ekonomi dikendalikan oleh manusia)

Perkembangan ekonomi harus tetap dikendalikan oleh manusia. Perkembangan itu jangan pula dipercayakan saja kepada kesewenang-wenangan sekelompok kecil, atau kelompok-kelompok yang terlampau berkuasa dibidang ekonomi, atau negara melulu, atau beberapa bangsa yang lebih berkuasa. Akan tetapi disetiap lapisan masyarakat sebanyak mungkin orang, dan – bila menyangkut hubungan-hubungan internasional – semua bangsa seharusnya melibatkan diri secara aktif dalam mengendalikan perekonomian. Begitu pula perlulah prakarsa-prakarsa swasta perorangan maupun kelompok-kelompok bebas dikoordinasi serta digabungkan secara laras dan serasi dengan usaha-usaha pemerintah.

Perkembangan jangan pula diserahkan melulu kepada proses hampir otomatis kegiatan ekonomi perorangan atau hanya kepada kekuasaan pemerintah. Maka dari itu harus dikecam sebagai kekeliruan baik teori-teori yang berdalih kebebasan palsu menentang perombakan-perombakan yang sungguh perlu, maupun teori-teori yang mengorbankan hak-hak asasi perorangan serta kelompok-kelompok demi organisasi kolektif penyelenggara produksi[141].

Maka hendaknya para warganegara menyadari, bahwa termasuk hak maupun kewajiban mereka (yang harus diakui oleh kekuasaan sipil): sedapat mungkin menyumbangkan jasa mereka demi perkembangan masyarakat mereka yang sejati. Terutama di wilayah-wilayah yang belum maju perekonomiannya, – karena disitu mendesak sekali bahwa segala upaya dikerahkan, – kesejahteraan umum sangat dibahayakan oleh mereka, yang membiarkan harta kekayaan mereka sia-sia tak terpakai, atau pun juga oleh mereka, yang tanpa mengurangi hak pribadi untuk beremigrasi – membiarkan masyarakat mereka terbengkelai tanpa upaya-upaya jasmani maupun rohani yang justru di butuhkannya.

66. (Perbedaan-perbedaan besar di bidang sosial ekonomi perlu disingkirkan)

Supaya tuntutan-tuntutan keadilan dan kewajaran terpenuhi, harus diusahakan dengan sungguh-sungguh, agar – tanpa mengurangi hak-hak pribadi dan kekhususan tiap bangsa – ketimpangan-ketimpangan besar di bidang ekonomi, yang disertai deskriminasi perorangan maupun kolektif, yang sekarang masih ada dan sering masih bertambah parah, secepat mungkin di singkirkan. Begitu pula dibanyak daerah, mengingat kesulitan-kesulitan khusus di bidang pertanian untuk memproduksi maupun memasarkan hasil bumi, kaum petani memerlukan bantuan baik untuk meningkatkan produksi maupun memasarkan hasilnya, maupun untuk mewujudkan perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan yang dibutuhkan, begitu pula untuk mendapat penghasilan yang wajar, supaya – seperti sering terjadi – mereka jangan tetap termasuk golongan masyarakat yang lebih rendah. Kaum petani sendiri, terutama angkatan muda, hendaknya dengan cekatan berusaha meningkatkan keahlian profesional mereka, yang mutlak perlu bagi perkembangan pertanian[142].

Begitu pula keadilan dan kewajaran menuntut, supaya mobilitas[143], yang mau tak mau menyertai perkembangan ekonomi, diatur dengan baik, supaya kediaman orang-orang perorangan beserta keluarga mereka jangan kehilangan kepastiannya dan jangan menjadi tidak menentu. Terhadap kaum buruh, yang berasal dari bangsa atau daerah lain, dan yang menyumbangkan kerja mereka bagi pertumbuhan ekonomi bangsa atau daerah tertentu, hendaknya sungguh-sungguh dihindari setiap diskriminasi mengenai pembayaran upah maupun kondisi kerja. Selain itu semua saja, terutama para pejabat pemerintah, janganlah memandang para pekerja pendatang itu sebagai upaya-upaya produksi melulu, melainkan sebagai pribadi-pribadi, yang harus dibantu untuk mendatangkan keluarga mereka, untuk mengusahakan kediaman yang layak, dan untuk berintegrasi dalam kehidupan sosial bangsa serta daerah yang menampung mereka. Akan tetapi sedapat mungkin hendaklah di daerah-daerah mereka sendiri dicptakan lapangan kerja.

Dalam dunia ekonomi yang sekarang ini mengalami perubahan-perubahan, seperti dalam pola-pola baru masyarakat industri, yang misalnya saja ditandai oleh berkembangnya “otomatisme”, perlu diusahakan, supaya bagi setiap orang tersedialah pekerjaan yang cukup dan cocok, begitu pula peluang bagi pendidikan kejuruan dan profesional yang sesuai, dan supaya tetap terjaminlah nafkah hidup serta keluhuran martabat manusia, terutama bagi mereka yang menghadapi kesukaran-kesukaran cukup besar, karena menderita penyakit atau sudah lanjut usia.

ARTIKEL DUA – BEBERAPA PRINSIP YANG MENGATUR SELURUH KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI

67. (Kerja, persyaratan kerja, istirahat)

Kerja manusia, yang dilaksanakan untuk produksi dan pertukaran barang-barang dan untuk menyediakan jasa-jasa di bidang ekonomi, lebih penting dari pada unsur-unsur kehidupan ekonomi lainnya, yang bernilai melulu sebagai sarana-sarana.

Sebab kerja itu, entah dijalankan atas kemauan sendiri atau berdasarkan kontrak dengan majikan, langsung bersumber pada pribadi, yang seperti menaruh meterainya atas hal-hal di dunia ini, dan menundukkannya kepada kehendaknya. Biasanya melalui kerjanya manusia mencari nafkah bagi dirinya dan bagi mereka yang menjadi tanggungannya; ia menjalin ikatan dengan saudara-saudarinya serta melayani mereka; ia dapat mengamalkan cinta kasih yang sejati, dan menyumbangkan kegiatannya demi penyempurnaan ciptaan yang ilahi. Bahkan menurut keyakinan kita melalui kerja, yang dipersembahkan kepada Allah manusia digabungkan dengan karya penebusan Yesus Kristus sendiri, yang – ketika Ia di Nazareth bekerja dengan tangan-Nya sendiri – memberi martabat yang luhur kepada kerja. Di situ timbullah bagi setiap orang kewajiban untuk bekerja dengan setia, tetapi juga hak atas kerja. Termasuk tugas masyarakatlah: sesuai dengan situasinya yang khas, membantu para anggotanya menemukan lapangan kerja yang memadai. Akhirnya kerja harus mendapat imbalannya sedemikian rupa, sehingga bagi manusia tersedialah kemungkinan untuk secara layak mengembangkan bagi dirinya maupun kaum kerabatnya kehidupan jasmani, sosial, budaya dan rohani, dengan mempertimbangkan tugas serta produktivitasnya masing-masing, pun juga situasi perusahaan dan kesejahteraan umum[144].

Karena kebanyakan kegiatan ekonomi berlangsung berkat kerja sama sekelompok orang, maka tidak adil dan tidak manusiawilah menggalang dan mengatur kegiatan itu sedemikian rupa, sehingga merugikan siapa saja yang bekerja. Tetapi cukup sering terjadi, juga zaman sekarang ini, bahwa mereka yang menjalankan pekerjaan dalam arti tertentu menjadi budak pekerjaannnya sendiri. Tidak pernah dapat dibenarkan oleh apa yang disebut hukum-hukum ekonomi. Oleh karena itu seluruh proses kerja yang produktif harus disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan pribadi dan dengan kewajiban-kewajibannya yang lain; terutama dengan kehidupan rumah tangganya, khususnya bila menyangkut para ibu rumah tangga, selalu dengan mengindahkan usia, dan apakah menyangkut pria atau wanita. Kecuali itu bagi para pekerja hendaknya disediakan kesempatan untuk melalui kerja mereka sendiri mengembangkan bakat-kemampuan serta pribadi mereka. Walaupun untuk bekerja mereka dengan tanggung jawab semestinya menggunakan waktu maupun tenaga mereka, hendaknya mereka semua toh mendapat istirahat dan mempunyai waktu terluang secukupnya, untuk menghayati kehidupan keluarga, budaya, sosial dan keagamaan. Bahkan hendaknya mereka mendapat peluang juga, untuk secara bebas mengembangkan daya-kemampuan mereka, yang barang kali kurang dapat mereka tumbuhkan dalam kerja profesional mereka.

68. (Peran serta dalam tanggung jawab atas perusahaan dan seluruh pengaturan ekonomi; konflik-konflik mengenai kerja)

Dalam kegiatan-kegiatan ekonomi bergabunglah pribadi-pribadi, yang bebas dan otonom, diciptakan menurut citra Allah. Oleh karena itu, sementara diperhatikan tugas-tugas masing-masing, entah para pemilik atau majikan, entah para pemimpin perusahaan atau buruh, tanpa melemahkan kesatuan kepemimpinan perusahaan yang tetap diperlukan, hendaknya dengan cara yang harus ditentukan dengan cermat dikembangkan peranserta aktif semua anggota dalam kebijaksanaan perusahaan[145]. Tetapi karena sering kali keputusan-keputusan tentang kondisi-kondisi sosial ekonomi diambil tidak lagi oleh perusahaan sendiri, melainkan pada lembaga-lembaga pada tingkat yang lebih tinggi, – padahal dari keputusan-keputusan itu tergantung masa depan para pekerja maupun anak-anak mereka, – maka hendaknya mereka sendiri berperanserta dalam proses pengambilan keputusan, entah secara langsung, entah melalui wakil-wakil yang mereka pilih dengan bebas.

Di antara hak-hak pribadi manusia yang paling dasar perlu di sebutkan hak kaum buruh untuk secara bebas membentuk serikat-serikat, mengatur kehidupan ekonomi dengan saksama, selain itu hak untuk secara bebas ikut serta dalam kegiatan serikat-serikat itu tanpa resiko dikenai sangsi. Melalui partisipasi yang diatur seperti itu, disertai dengan pembinaan sosial ekonomi yang makin maju, akan makin berkembanglah pada semua kesadaran akan tugas maupun kewajiban masing-masing. Dengan demikian mereka akan dibantu untuk merasa diri terlibat, masing-masing menurut kemampuan serta kecakapannya sendiri, dalam seluruh usaha pengembangan sosial ekonomi dan dalam usaha mewujudkan kesejahteraan umum.

Tetapi bila timbul konflik-konflik sosial ekonomi, perlu diusahakan supaya dicapai pemecahannya secara damai. Meskipun selalu pertama-tama harus diusahakan musyawarah yang jujur antara pihak-pihak yang berkepentingan, tetapi pemogokan, juga dalam situasi zaman sekarang, tetap dapat merupakan upaya yang sungguh perlu, kendati upaya terakhir, untuk memperjuangkan hak-haknya sendiri dan supaya terpenuhilah tuntutan-tuntutan para buruh yang wajar. Tetapi hendaknya secepat mungkin diusahakan untuk kembali mengadakan perundingan dan dialog guna mencapai mufakat.

69. (Harta-benda bumi diperuntukkan bagi semua orang)

Allah menghendaki, supaya bumi beserta segala isinya digunakan oleh semua orang dan sekalian bangsa, sehingga harta benda yang tercipta dengan cara yang wajar harus mencapai semua orang, berpedoman pada keadilan, diiringi dengan cinta kasih[146]. Bagaimanapun bentuk-bentuk pemilikan, sesuai dengan ketetapan-ketetapan hukum bangsa-bangsa, pun menurut situasi yang serba berbeda dan berubah-ubah, selalu harus diindahkan bahwa harta-benda bumi diperuntukkan bagi semua orang. Oleh karena itu manusia, sementara menggunakannya, harus memandang hal-hal lahiriah yang dimilikinya secara sah bukan hanya sebagai miliknya sendiri, melainkan juga sebagai milik umum, dalam arti bahwa hal-hal itu dapat berguna tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi sesamanya[147]. Tetapi semua orang berhak memiliki sebagian harta-benda sehingga mencukupi bagi dirinya maupun kaum kerabatnya. Begitulah pandangan para Bapa dan Pujangga Gereja, yang mengajarkan, bahwa manusia wajib meringankan beban kaum miskin, itu pun bukan hanya dari kelebihan miliknya[148]. Mereka yang menghadapi kebutuhan darurat, berhak untuk mengambil dari kekayaan orang-orang lain apa yang sungguh dibutuhkannya[149]. Karena di dunia ini begitu banyaklah orang yang kelaparan, Konsili mendesak semua orang, masing-masing secara perorangan, maupun mereka yang berwenang supaya mengenangkan pernyataan para Bapa: “Berilah makan kepada orang yang akan mati kelaparan; sebab bila engkau tidak memberinya makan, engkau membunuhnya”[150], dan sesuai dengan kemampuan masing-masing, sungguh membagikan dan menggunakan harta-benda mereka, terutama dengan menyediakan bagi orang-orang perorangan maupun bangsa-bangsa upaya-upaya, yang memungkinkan mereka itu untuk menolong diri dan mengembangkan diri.

Dalam masyarakat-masyarakat, yang perekonomiannya belum maju, tidak jarang asa, bahwa harta benda diperuntukkan bagi semua orang, sebagian terwujudnya berdasarkan adat-istiadat dan tradisi-tradisi yang khas bagi masyarakat tertentu; yakni: masing-masing anggotanya menerima apa yang sungguh-sungguh dibutuhkannya. Tetapi perlu dihindari, jangan sampai kebiasaan-kebiasaan tertentu dianggap sama sekali tidak berubah, kalau ternyata sudah tidak menanggapi tuntutan-tuntutan baru zaman sekarang lagi. Di lain pihak, hendaknya orang jangan secara tidak bijaksana bertindak melawan kebiasaan-kebiasaan yang terhormat, yang asal saja disesuaikan dengan situasi zaman sekarang, tetap masih sangat bermanfaat. Begitu pula pada bangsa-bangsa yang perekonomiannya sudah sangat maju, suatu jaringan lembaga-lembaga sosial untuk asuransi dan jaminan sosial dari pihaknya dapat mempraktekkan prinsip, bahwa harta-benda diperuntukkan bagi semua orang. Selanjutnya perlu dikembangkan jasa-pelayanan keluarga dan sosial, terutama yang bertujuan pembinaan jiwa dan pendidikan. Tetapi dalam menyelenggarakan itu semua toh harus di jaga, supaya para warga jangan sampai secara pasif melulu menyerahkan segalanya kepada masyarakat, atau menolak beban tugas yang sudah disanggupi dan tidak sanggup menjalankan pelayanan.

70. (Penanaman modal dan masalah moneter)

Penanaman modal harus diarahkan kepada lapangan kerja dan penghasilan yang mencukupi bagi masyarakat sekarang maupun di masa mendatang. Barang siapa mengambil keputusan-keputusan tentang investasi-investasi itu dan tentang penataan perekonomian, – entah perorangan, entah kelompok-kelompok atau pejabat-pejabat pemerintah, – wajib memperhatikan tujuan-tujuan itu. Mereka harus pula memandang sebagai kewajiban yang berat di satu pihak menjaga, supaya diusahakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup secara layak manusiawi, baik bagi warga perorangan maupun bagi seluruh masyarakat; di lain pihak memperhitungkan masa depan, dan menetapkan keseimbangan yang sewajarnya antara kebutuhan-kebutuhan penggunaan masa sekarang, baik perorangan maupun kolektif, dan tuntutan-tuntutan investasi bagi generasi mendatang. Hendaknya selalu diperhitungkan juga kebutuhan-kebutuhan yang serba mendesak diantara bangsa-bangsa dan daerah-daerah yang belum maju perekonomiannya. Di bidang moneter hendaknya di usahakan, jangan samapi kesejahteraan bangsa sendiri serta bangsa-bangsa lain dirugikan. Kecuali itu hendaknya diupayakan, agar kaum ekonomi lemah jangan samapi menderita kerugian yang tidak adil akibat perubahan nilai mata uang.

71. (Soal memperoleh harta-milik dan milik perorangan; masalah tuan tanah)

Harta-milik dan bentuk-bentuk lain pemilikan perorangan atas harta-benda lahiriah berperanserta dalam pengungkapan pribadi. Selain itu membuka peluang baginya untuk menunaikan tugasnya dalam masyarakat dan di bidang ekonomi. Maka amat pentinglah, bahwa tetap terbuka kemungkinan memperoleh suatu hak milik atas hal-hal lahiriah.

Milik perorangan atau suatu peguasaan atas harta-benda lahiriah memberi setiap orang ruang yang sungguh perlu untuk mengembangkan otonomi pribadi maupun keluarganya, dan harus dipandang bagaikan perluasan kebebasan manusiawi. Selanjutnya, karena ikut mendorong pelaksanaan tugas-kewajiban, merupakan suatu syarat bagi kebebasan warga masyarakat[151].

Bentuk-bentuk penguasaan atau pemilikan semacam itu sekarang ini bermacam-macam dan makin lama makin beraneka. Tetapi kesemuanya, – di samping jaminan-jaminan sosial, perundang-undangan dan jasa pelayanan yang disediakan oleh masyarakat, – tetap merupakan sumber keamanan yang tidak dapat diabaikan. Itu berlaku bukan hanya tentang harta-milik jasmani, melainkan juga tentang kekayaan rohani, seperti kemampuan-kemampuan profesional.

Adapun hak atas milik perorangan tidak bertentangan pada hak yang ada pada pelbagai bentuk milik negara. Perpindahan harta menjadi milik negara hanya dapat dilaksanakan oleh kewibawaan yang berwenang, sesuai dengan tuntutan-tuntutan kesejahteraan umum dan di dalam batas-batasnya, dengan diberikannya ganti rugi yang sungguh wajar. Selain itu termasuk tugas pemerintah: mencegah, jangan sampai ada yang menyalahgunakan milik perorangan melawan kesejahteraan umum[152].

Tetapi milik perorangan sendiri pun menurut hakekatnya mempunyai sifat sosial juga, yang di dasarkan pada prinsip: harta-benda diperuntukkan bagi semua orang[153]. Bila sifat sosial itu diabaikan, harta milik sering sekali membuka peluang bagi keserakahan dan kekacauan yang parah, sehingga para penentang menemukan dalih untuk melawan hak atas milik perorangan.

Di banyak daerah yang belum maju perekonomiannya terdapat bidang-bidang tanah luas, bahkan sangat luas, yang hanya setengah dikerjakan, atau demi keuntungan dibiarkan tidak dikerjakan sama sekali, sedangkan mayoritas rakyat atau tidak mempunyai tanah, atau hanya memiliki ladang yang sangat sempit sekali. Padahal di lain pihak sangat jelas, betapa sungguh mendesak ladang-ladang ditingkatkan buah-hasilnya. Tidak jarang kaum buruh yang dipekerjakan oleh tuan-tuan tanah, atau yang mengelola sebagian tanah sebagai tanah sewaan saja, hanya menerima upah atau mendapat bagi hasil yang benar-benar tidak layak manusiawi, tidak mempunyai rumah pantas, dan dihisap oleh petugas-petugas penengah. Mereka sedikitpun tidak mendapat jaminan keamanan, dan hidup dalam perhambaan pribadi sedemikian rupa, sehingga kemampuan untuk bertindak atas kehendak sendiri dan bertanggung jawab praktis dirampas dari mereka, dan setiap kemajuan di bidang budaya serta setiap peran serta dalam kehidupan sosial dan politik bagi mereka tidak terjangkau. Maka untuk menanggapi pelbagai situasi itu amat perlulah perombakan-perombakan: penghasilan perlu dinaikkan, kondisi-kondisi kerja harus diperbaiki, dalam mempekerjakan buruh dibutuhkan kepastian sosial, dan diperlukan dorongan untuk bekerja atas kemauan sendiri; bahkan tanah yang kurang dikerjakan harus dibagikan kepada mereka, yang mampu menjadikannya tanah subur. Dalam situasi ini perlu disediakan sarana-sarana dan upaya-upaya yang dibutuhkan, terutama bantuan pendidikan dan kesempatan untuk membentuk badan koperasi yang teratur. Tetapi setiap kali kesejahteraan umum meminta pengambilalihan harta-milik, harus ditetapkan ganti rugi berdasarkan keadilan, dan mempertimbangkan seluruh situasi.

72. (Kegiatan sosial ekonomi dan Kerajaan Kristus)

Umat kristen, yang secara aktif melibatkan diri dalam perkembangan sosial ekonomi zaman sekarang, serta membela keadilan dan cinta kasih, hendaknya menyadari, bahwa mereka dapat berjasa besar bagi kesejahteraan umat manusia dan perdamaian dunia. Dalam kegiatan-kegiatan itu hendaknya mereka masing-masing maupun sebagai kelompok memberi teladan yang cemerlang. Dengan kemahiran serta pengalaman yang mereka peroleh dan memang sungguh dibutuhkan, hendaknya mereka mempertahankan tata-nilai yang sebenarnya ditengah kegiatan mereka di dunia, serta tetap setia kepada Kristus dan Injil-Nya, sehingga seluruh hidup mereka, sebagai perorangan maupun anggota masyarakat, diresapi oleh semangat Sabda Bahagia, khususnya semangat kemiskinan.

Barang siapa patuh taat kepada Kristus, dan pertama-tama mencari Kerajaan Allah, akan menimba dari padanya cinta kasih yang lebih kuat dan lebih jernih, untuk membantu semua saudara-saudarinya, dan untuk berjiwakan cinta kasih melaksanakan karya keadilan[154].

BAB EMPAT – HIDUP BERNEGARA

73. (Kehidupan umum zaman sekarang)

Zaman sekarang ini ternyata berlangsung perubahan-perubahan yang mendalam, juga dalam struktur kemasyarakatan dan lembaga-lembaga bangsa-bangsa, yang disebabkan oleh perkembangan mereka di bidang budaya, ekonomi dan sosial. Perubahan-perubahan itu berpengaruh besar atas hidup bernegara, terutama mengenali hak-hak dan kewajiban-keajiban semua orang dalam mengamalkan kebebasan mereka sebagai warganegara dan dalam mengusahakan kesejahteraan umum, pun juga mengenai cara mengatur hubungan antar warga negara maupun hubungan mereka dengan pemerintah.

Kesadaran akan martabat manusia semakin mendalam. Maka di pelbagai kawasan dunia ini muncullah usaha untuk membaharui tata politik berdasarkan hukum, supaya hak-hak pribadi dalam kehidupan umum lebih dilindungi, misalnya hak untuk dengan bebas mengadakan pertemuan dan mendirikan organisasi; hak untuk mengungkapkan pendapat-pendapatnya sendiri, dan untuk mengamalkan agama sebagai perorangan maupun di muka umum. Sebab terjaminnya hak-hak pribadi merupakan syarat mutlak, supaya para warga negara, masing-masing mempunyai kolektif, dapat bereperanserta secara aktif dalam kehidupan dan pemerintahan negara.

Seiring dengan kemajuan di bidang budaya, ekonomi dan sosial, pada banyak orang makin kuatlah kemauan untuk memainkan peranan lebih besar dalam mengatur hidup bernegara. Dalam kesadaran banyak orang makin mendesaklah hasrat, supaya hak-hak kelompok-kelompok minoritas suatu bangsa dipertahankan, tanpa mengabaikan kewajiban-kewajiban mereka terhadap negara. Kecuali itu makin kuatlah sikap hormat terhadap orang-orang yang berpandangan lain atau yang menganut agama lain. Serta makin meluaslah kerja sama, supaya semua warga negara, dan bukan hanya beberapa orang saja yang mempunyai hak istimewa, benar-benar dapat memanfaatkan hak-hak pribadi mereka.

Di lain pihak ada sikap menolak terhadap semua sistem politik, yang masih berlaku di berbagai kawasan, dan yang merintangi kebebasan kewarganegaraan dan keagamaan, menimbulkan jauh lebih banyak ambisi dan kejahatan politik, serta menggunakan kewibawaan mereka bukan demi kesejahteraan umum, melainkan demi keuntungan suatu partai atau para pemimpin sendiri.

Untuk membangun kehidupan politik yang sungguh manusiawi, tidak ada yang lebih baik dari pada menumbuhkan semangat batin keadilan dan kebaikan hati serta pengabdian demi kesejahteraan umum, lagi pula memantapkan keyakinan-keyakinan dasar tentang hakekat sejati negara, dan tentang tujuan, tepatnya pelaksanaan dan batas-batas wewenang pemerintah.

74. (Hakekat dan tujuan negara)

Orang-orang, keluarga-keluarga dan pelbagai kelompok, yang bersama-sama membentuk masyarakat sipil, menyadari kurangnya kemampuan mereka untuk mewujudkan kehidupan yang sungguh manusiawi. Mereka memahami perlunya rukun hidup bersama yang lebih luas, yang memberi ruang kepada semua anggotanya, untuk dari hari ke hari menyumbangkan tenaga mereka sendiri demi semakin terwujudnya kesejahteraan umum[155]. Oleh sebab itu mereka membentuk negara menurut pelbagai pola. Maka negara ada demi kesejahteraan umum, menemukan dasar keberadaannya sepenuhnya serta maknanya dalam kesejahteraan itu, dan mendasarkan hak kemandiriannya yang otentik padanya. Kesejahteraan umum mencakup keseluruhan kondisi-kondisi kehidupan sosial, yang memungkinkan orang-orang, keluarga-keluarga dan perhimpunan-perhimpunan mencapai kesempurnaan mereka secara lebih penuh dan lebih mudah[156].

Memang banyak dan bermacam-macamlah orang-orang, yang berhimpun mewujudkan negara, dan dapat secara wajar merasa condong kepada pelbagai pendapat. Maka supaya jangan sampai, karena masing-masing mengikuti pandangannya sendiri, negara itu terpecah belah, diperlukan kewibawaan yang mengarahkan daya kemampuan semua warganya kepada kesejahteraan umum, tidak secara mekanis atau otoriter, melainkan terutama sebagai kekuatan moril, yang bertumpu pada kebebasan dan kesadaran akan kewajiban serta beban yang telah mereka terima sendiri.

Dengan demikian jelaslah negara dan pemerintah mempunyai dasarnya pada kodrat manusia, dan karena itu termasuk tatanan yang ditetapkan oleh Allah. Sedangkan penentuan sistim pemerintahan dan penunjukan para pejabat pemerintah hendaknya diserahkan kepada kebebasan kehendak para warganegara[157].

Kesimpulannya pula ialah, bahwa pelaksanaan kekuasaan politik, baik dalam masyarakat sendiri, maupun di lembaga-lembaga yang mewakili negara, selalu harus berlangsung dalam batas-batas tata moral, untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang diartikan secara dinamis, menurut tata perundang-undangan yang telah dan harus ditetapkan secara sah. Maka para warganegara wajib patuh-taat berdasarkan hati nurani mereka[158]. Dari situ jelas jugalah tanggung jawab, martabat dan kewibawaan para penguasa.

Tetapi, bila para warganegara mengalami tekanan dari pihak pemerintah yang melampaui batas wewenangnya, hendaknya mereka jangan menolak apapun, yang secara objektif memang dituntut demi kesejahteraan umum. Tetapi boleh saja mereka memperjuangkan hak-hak mereka serta sesama warganegara melawan penyalahgunaan kekuasaan itu, dengan tetap mengindahkan batas-batas, yang digariskan oleh hukum kodrati dan Injil.

Pola-pola konkrit, yang bagi negara menjadi pedoman untuk mengatur tata susunannya sendiri dan berfungsinya pemerintahan, dapat bermacam-ragam sesuai dengan sifat-perangai bangsa-bangsa dan perjalanan sejarah. Tetapi selalu harus mengabdi kepada pembinaan manusia yang berbudaya, cinta damai dan berbaik hati terhadap siapa saja, demi keuntungan segenap keluarga manusia.

75. (Kerja sama semua orang dalam kehidupan umum)

Sama sekali sesuailah dengan kodrat manusia menemukan struktur-struktur politik berdasarkan hukum, yang selalu semakin baik dan tanpa deskriminasi membuka kesempatan efektif bagi semua warga negara, untuk secara bebas dan aktif berperanserta baik dalam menetapkan dasar-dasar hukum bagi negara, dalam menentukan sistim pemerintahan negara, dan bidang-bidang serta sasaran pelbagai lembaganya, maupun dalam pemilihan pejabat pemerintah[159]. Maka hendaknya semua warganegara menyadari hak maupun kewajibannya untuk secara bebas menggunakan hak suara mereka guna meningkatkan kesejahteraan umum. Gereja memandang layak di puji dan dihormati kegiatan mereka, yang demi pengabdian kepada sesama membaktikan kepada kesejahteraan negara dan sanggup memikul beban kewajiban mereka.

Supaya kerja sama para warganegara, dijiwai kesadaran akan kewajiban mereka, dalam kehidupan sehari-hari negara berhasil dengan baik, dibutuhkan tata hukum positif, yang mencantumkan pembagian tugas-tugas serta lembaga-lembaga pemerintah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, pun juga perlindungan hak-hak efektif dan tidak merugikan siapa pun. Hendaknya diakui, dipatuhi dan didukung semua hak-hak pribadi, keluarga-keluarga dan kelompok-kelompok beserta pelaksanaannya[160], begitu pula kewajiban-kewajiban yang mengikat semua warganegara. Diantaranya perlu disebutkan kewajiban untuk menunaikan pelayanan-pelayanan materiil maupun personal bagi negara, yang diperlukan demi kesejahteraan umum. Hendaknya para penguasa jangan menghalang-halangi kelompok-kelompok keluarga, sosial atau budaya, instansi-instansi atau lembaga-lembaga pengantara. Jangan pul mencabut ruang kegiatan mereka yang sah dan efektif. Melainkan hendaknya para penguasa berusaha mengembangkan dengan sukarela dan secara teratur kegiatan-kegiatan itu. Di pihak lain hendaknya para warganegara, baik sebagai perorangan maupun secara kolektif, jangan menyerahkan kekuasaan terlampau besar kepada pemerintah. Mereka jangan pula menuntut keuntungan-keuntungan serta kemudahan-kemudahan yang berlebihan dan tidak pada tempatnya dari pemerintah, sehingga mengurangi beban perorangan, keluarga-keluarga maupun kelompok-kelompok sosial.

Karena situasi zaman sekarang yang cukup rumit pemerintah sering terpaksa bercampurtangan dalam soal-soal sosial, ekonomi dan budaya, untuk menciptakan kondisi-kondisi yang lebih menguntungkan, sehingga para warganegara maupun kelompok-kelompok dibantu secara lebih efektif untuk secara sukarela mengusahakan kesejahteraan manusia seutuhnya. Sesuai dengan kemajemukan wilayah-wilayah dan perkembangan bangsa-bangsa, hubungan-hubungan antara sosialisasi[161] dan otonomi serta perkembangan pribadi dapat diberi arti bermacam-macam. Tetapi bila demi kesejahteraan umum pelaksanaan hak-hak untuk sementara dapat dibatasi, hendaknya kebebasan selekas mungkin di kembalikan kalau keadaan sudah berubah. Tetapi adalah bertentangan dengan kemanusiaan, bila kekuasaan politik jatuh ke dalam bentuk-bentuk totaliter atau diktatorial, sehingga melanggar hak-hak pribadi maupun kelompok-kelompok sosial.

Hendaknya para warganegara dengan kebesaran jiwa dan kesetiaan memupuk cinta tanah air, tetapi tanpa berpandangan picik, sehingga serentak tetap memperhatikan kesejahteraan segenap keluarga manusia, yang terhimpun melalui pelbagai ikatan antar suku, antar bangsa dan antar negara.

Hendaknya segenap umat kristen menyadari panggilan mereka yang kas dalam negara. Di situlah harus di pancarkan teladan mereka, yang terikat oleh kesadaran akan kewajiban mereka mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum yang memang perlu ditingkatkan. Dengan demikian mereka menunjukkan dengan tindakan yang nyata pula, bagaimana kewajiban dapat diselaraskan dengan kebebasan, prakarsa perorangan dengan keterikatan pada struktur-struktur seluruh tubuh kemasyarakatan, kesatuan yang diinginkan dengan kemajemukan yang menguntungkan. Hendaknya mereka mengakui adanya pandangan-pandangan yang kendati berbeda satu dengan lainnya, toh beralasan juga mengenai cara mengatur hal ikhwal duniawi, dan tetap menghormati sesama warga negara yang dengan tulus membela pendapat-pendapat itu, juga sebagai anggota partai. Partai-partai politik wajib mendukung segala sesuatu, yang menurut pandangan mereka dibutuhkan bagi kesejahteraan umum. Tetapi tidak pernah keuntungan pribadi boleh didahulukan terhadap kesejahteraan umum.

Hendaknya secara intensif diusahakan pembinaan kewarganegaraan dan politik, yang sekarang ini perlu sekali bagi masyarakat dan terutama bagi generasi muda, supaya semua warganegara mampu memainkan peranannya dalam hidup bernegara. Mereka yang cakap atau berbakat hendaknya menyiapkan diri untuk mencapai keahlian politik, yang sukar dan sekaligus amat luhur[162], dan berusaha mengamalkannya, tanpa memperhitungkan kepentingan pribadi atau keuntungan materiil. Hendaknya mereka dengan keutuhan kepribadiannya dan kebijaksanaan menentang ketidakadilan dan penindasan, kekuasaan sewenang-wenang dan sikap tidak bertenggang rasa satu orang atau satu politik. Hendaknya mereka secara jujur dan wajar, malahan dengan cinta kasih dan ketegasan politik, membaktikan diri bagi kesejahteraan semua orang.

76. (Negara dan Gereja)

Terutama dalam masyarakat yang bersifat majemuk, sangat pentinglah bahwa orang-orang mempunyai pandangan yang tepat tentang hubungan antara negara dan Gereja, dan bahwa ada pembedaan yang jelas antara apa yang dijalankan oleh umat kristen, entah sebagai perorangan entah secara kolektif, atas nama mereka sendiri selaku warganegara di bawah bimbingan suara hati kristiani, dan dipihak lain apa yang mereka jalankan atas nama Gereja bersama para gembala mereka.

Berdasarkan tugas maupun wewenangnya Gereja sama sekali tidak dapat di campur adukkan dengan negara, dan tidak terikat pada sitem politik manapun juga. Sekaligus Gereja itu menjadi tanda dalam perlindungan transendesi pribadi manusia.

Di bidang masing-masing negara dan Gereja bersifat otonom tidak saling tergantung. Tetapi keduanya, kendati atas dasar yang berbeda, melayani panggilan pribadi dan sosial orang-orang yang sama. Pelaksanaan itu akan semakin efektif dijalankan oleh keduanya demi kesejahteraan umum, semakin baik keduanya menjalin kerja sama yang sehat, dengan mengindahkan situasi setempat dan sesama. Sebab manusia tidak terkungkung dalam tata duniawi melulu, melainkan sementara mengarungi sejarah manusiawi ia sepenuhnya mengabdi kepada panggilannya untuk kehidupan kekal. Gereja, yang bertumpu pada cinta kasih Sang Penebus, menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan bangsa sendiri dan antara bangsa-bangsa makin meluaslah keadilan dan cinta kasih. Dengan mewartakan kebenaran Injil, dan dengan menyinari semua bidang manusiawi melalui ajaran-Nya dan melalui kesaksian umat kristen, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warganegara.

Para Rasul dan para pengganti mereka beserta rekan-rekan sekerja mereka diutus untuk mewartakan Kristus Penebus dunia kepada masyarakat. Dalam menjalankan kerasulan mereka mengandalkan kekuasaan Allah, yang sering sekali justru dalam kelemahan para saksi menampilkan kekuatan Injil. Sebab barang siapa membaktikan diri kepada pelayan sabda Allah, harus menggunakan cara-cara serta bantuan-bantuan yang kas bagi Inijl, yang dalam banyak hal berlainan dengan sumber-sumber daya masyarakat duniawi.

Hal-hal duniawi dan perkara-perkara, yang dalam kondisi hidup manusia melampaui dunia ini, berhubungan erat sekali; dan Gereja memanfaatkan hal-hal duniawi sejauh dibutuhkan oleh perutusannya. Tetapi Gereja tidak menaruh harapannya atas hak-hak istimewa yang ditawarkan oleh pemerintah. Bahkan akan melepaskan penggunaan hak-hak tertentu yang diperolehnya secara sah, bila karena penggunaan ketulusan kesaksiaannya ternyata disangsikan, atau bila kondisi-kondisi kehidupan yang baru memerlukan pengaturan yang baru. Tetapi selalu dan di mana-mana hendaknya ia diperbolehkan dengan kebebasan yang sejati mewartakan iman, menyampaikan ajaran sosialnya, menunaikan tugasnya dalam masyarakat tanpa di halang-halangi, dan menyampaikan penilaian morilnya, juga tentang hal-hal yang menyangkut tata politik, bila itu di tuntut oleh hak-hak asasi manusia atau oleh keselamatan jiwa-jiwa, dengan menggunakan semua dan hanya bantuan-bantuan yang sesuai dengan Injil serta kesejahteraan-kesejahteraan semua orang, menanggapi zaman maupun situasi yang berbeda-beda.

Sementara Gereja dengan setia berpaut pada Injil, dan menunaikan perutusannya di dunia, Gereja, yang dipanggil untuk memelihara serta memupuk apapun yang serba besar, baik dan indah dalam masyarakat manusia[163], memantapkan perdamaian diantara manusia demi kemuliaan Allah[164].

BAB LIMA – USAHA DEMI PERDAMAIAN DAN PEMBENTUKAN PERSEKUTUAN BANGSA-BANGSA

77. (Pendahuluan)

Beberapa tahun ini ditandai oleh kesengsaraan dan kesukaran-kesukaran akibat perang yang sedang berkecamuk atau karena ancaman perang. Penderitaan dan kesulitan-kesulitan itu masih tetap berlangsung dan sangat membebani masyarakat. Segenap keluarga manusia telah mencapai saat yang sangat kritis dalam proses pendewasaannya. Umat manusia, yang lambat laun telah berhimpun dan di mana-mana sudah menyadari kesatuannya, menghadapi tugas, yakni membangun dunia yang sungguh-sungguh lebih manusiawi bagi semua orang dimana pun juga. Tugas itu hanya dapat dilaksanakan, bila semua orang dengan semangat baru mengarahkan diri kepada perdamaian yang sejati. Karena itulah amanat Injil, yang menghadapi usaha-usaha dan aspirasi-aspirasi umat manusia yang luhur, zaman sekarang ini memancarkan cahaya baru, sambil menyatakan para pembawa damai bahagia, “karena mereka akan di sebut anak-anak Allah” (Mat 5:9).

Oleh karena itu Konsili, sambil menjelaskan makna perdamaian yang otentik dan amat luhur, serta mengecam keganasan perang, bermaksud menyerukan penuh semangat kepada umat kristen, supaya dengan bantuan Kristus Pencipta damai bekerja sama dengan semua orang untuk menggalang perdamaian dalam keadilan dan cinta kasih diantara mereka, dan untuk menyediakan upaya-upaya perdamaian.

78. (Hakekat perdamaian)

Damai tidak melulu berarti tidak ada perang, tidak pula dapat diartikan sekedar menjaga keseimbangan saja kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Damai juga tidak terwujud akibat kekuasaan diktatorial. Melainkan dengan tepat dan cermat disebut “hasil karya keadilan” (Yes 32:17). Damai merupakan buah hasil tata tertib, yang oleh Sang Pencipta ilahi ditanamkan dalam masyarakat manusia, dan harus diwujudkan secara nyata oleh mereka yang haus akan keadilan yang makin sempurna. Sebab kesejahteraan umum bangsa manusia dalam kenyataan yang paling mendasar berada di bawah hukum yang kekal. Tetapi mengenai tuntutannya yang konkrit perdamaian tergantung dari perubahan-perubahan yang silih berganti di sepanjang masa. Maka tidak pernah tercapai sekali untuk seterusnya, melainkan harus terus menerus dibangun. Kecuali itu, karena kehendak manusia mudah goncang, terlukai oleh dosa, usaha menciptakan perdamaian menuntut, supaya setiap orang tiada hentinya mengendalikan nafsu-nafsunya, dan memerlukan kewaspadaan pihak penguasa yang berwenang.

Akan tetapi itu tidak cukup. Perdamaian itu di dunia tidak dapat di capai, kalau kesejahteraan pribadi-pribadi tidak di jamin, atau orang-orang tidak penuh kepercayaan dan dengan rela hati saling berbagi kekayaan jiwa maupun daya cipta mereka. Kehendak yang kuat untuk menghormati sesama dan bangsa-bangsa lain serta martabat mereka begitu pula kesungguhan menghayati persaudaraan secara nyata mutlak untuk mewujudkan perdamaian. Demikianlah perdamaian merupakan buah cinta kasih juga, yang masih melampaui apa yang dapat di capai melalui keadilan.

Damai di dunia ini, lahir dari cinta kasih terhadap sesama, merupakan cermin dan buah damai Kristus, yang berasal dari Allah Bapa. Sebab Putera sendiri yang menjelma, Pangeran damai, melalui salib-Nya telah mendamaikan semua orang dengan Allah. Sambil mengembalikan kesatuan semua orang dalam satu bangsa dan satu Tubuh, Ia telah membunuh kebencian dalam Daging-Nya sendiri[165], dan sesudah di muliakan dalam kebangkitan-Nya Ia telah mencurahkan Roh cinta kasih ke dalam hati orang-orang.

Oleh karena itu segenap umat kristen dipanggil. Dengan mendesak, supaya “sambil melaksanakan kebenaran dalam cinta kasih” (Ef 4:15), menggabungkan diri dengan mereka yang sungguh cinta damai, untuk memohon dan mewujudkan perdamaian.

Digerakkan oleh semangat itu juga, kami merasa wajib memuji mereka, yang dapat memperjuangkan hak-hak manusia menolak untuk menggunakan kekerasan, dan menempuh upaya-upaya pembelaan, yang tersedia pula bagi mereka yang tergolong lemah, asal itu dapat terlaksana tanpa melanggar hak-hak serta kewajiban-kewajiban sesama maupun masyarakat.

Karena manusia itu pendosa, maka selalu terancam, dan hingga kedatangan Kristus tetap akan terancam bahaya perang. Tetapi sejauh orang-orang terhimpun oleh cinta kasih mengalahkan dosa, juga tindakan-tindakan kekerasan akan diatasi, hingga terpenuhilah Sabda: “Mereka akan menempa pedang-pedang mereka menjadi mata bajak, dan tombak-tombak mereka menjadi pisau pemangkas. Bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang” (Yes 2:4).

ARTIKEL SATU – MENGHINDARI PERANG

79. (Keganasan perang harus dikendalikan)

Sungguhpun perang-perang terakhir bagi dunia telah mendatangkan kerugian besar sekali di bidang materiil maupun moril, dari hari ke hari pun dikawasan tertentu dunia perang masih tetap menimbulkan pengrusakan-pengrusakan. Bahkan, sementara dalam perang dikerahkan segala macam senjata tehnologi tinggi, keganasannya sangat dikawatirkan akan membawa mereka yang bertempur kepada kebiadapan, yang jauh melampaui kekejaman di masa lampau. Selanjutnya kompleksnya situasi zaman sekarang dan rumitnya hubungan-hubungan internasional memungkinkan, bahwa dengan cara-cara baru yang bersifat subfersive dan penuh tipu muslihat, perang dingin tetap berlarut-larut. Dalam banyak situasi penggunaan metode-metode teror dipandang sebagai cara baru berperang.

Menyaksikan keadaan umat manusia yang separah itu, Konsili Pertama bermaksud mengingatkan akan tetap masih berlakunya hukum kodrati bangsa-bangsa serta asas-asasnya yang bersifat universal. Kesadaran umat manusia sendiri semakin lantang menyiarkan asas-asas itu. Maka tindakan-tindakan yang secara sengaja menentangnya, dan perintah-perintah yang mengharuskan tindakan-tindakan itu di ambil, bersifat durhaka, dan kepatuhan buta pun tidak dapat membenarkan mereka yang menaatinya. Di antaranya terutama pantas di sebutkan tindakan-tindakan, yang berdasarkan dalih atau dengan cara tertentu mengakibatkan binasanya suku atau bangsa secara keseluruhan atau suatu suku yang merupakan minoritas. Tindakan-tindakan itu harus dikecam dengan tajam sebagai kejahatan yang mengerikan. Dan terutama layak sekali dipuji semangat mereka, yang tidak takut-takut melawan oknum yang memerintahkannya secara terbuka.

Mengenai masalah perang terdapat berbagai perjanjian internasional, yang di dukung oleh cukup banyak bangsa, untuk mengusahakan supaya kegiatan-kegiatan militer beserta akibat-akibatnya berkurang kekejamannya. Misalnya: perjanjian-perjanjian menyangkut nasib serdadu-serdadu yang luka atau di tahan, pelbagai ketentuan yang serupa. Perjanjian-perjanjian itu hendaknya dipatuhi. Bahkan semua saja, terutama pemerintah-pemerintah dan para pakar di bidang itu, wajib mengusahakan sedapat mungkin, supaya persetujuan-persetujuan itu disempurnakan, dan dengan demikian lebih baik dan tepat guna memperbuahkan pengendalian keganasan perang. Kecuali itu kiranya sudah sewajarnya, bahwa perundang-undangan berdasarkan perikemanusiaan mencantumkan kebijaksanaan tentang mereka, yang berdasakan suara hati menolak untuk mengangkat senjata, sedangkan mereka sanggup berbakti kepada masyarakat dengan cara lain.

Memang perang belum enyah dari hidup manusia. Tetapi, selama akan ada bahaya perang, dan tidak ada kewibawaan internasional yang berwenang dan dilengkapi upaya-upaya memadai, selama itu – bila semua upaya perlindungan damai sudah digunakan – pemerintah-pemerintah tidak dapat diingkari haknya atas pembelaan negara mereka yang sah. Maka para negarawan dan siapa saja yang ikut memikul tanggung jawab atas negara, harus memandang perkara-perkara serius secara serius pula, dan bertugas memperjuangkan keselamatan rakyat yang percaya kepada mereka. Tetapi memang lainlah menjalankan kegiatan militer untuk membela rakyat sebagaimana harusnya, berbeda lagi maksud untuk menaklukkan bangsa-bangsa lain. Dan adanya kekuatan perang tidak menghalalkan setiap penggunaannya demi kepentingan militer atau politik. Dan bila – sayang – perang sudah pecah, tidak dengan sendirinya segala sesuatu diperbolehkan antara pihak-pihak yang sedang bertikai.

Mereka sendiri, yang untuk mengabdi tanah air termasuk angkatan bersenjata, hendaknya memandang diri sebagai pelayan-pelayan keamanan dan kebebasan rakyat, lagi pula, selama menunaikan tugas itu dengan baik, benar-benar berjasa untuk mempertahankan kedamaian.

80. (Perang total)

Kengerian dan kejahatan perang meningkat luar biasa akibat bertambahnya senjata-senjata teknologi tinggi. Sebab dengan mengerahkan senjata-senjata itu perang mampu menimbulkan kehancuran yang dasyat dan menimpa siapa pun juga. Maka penggempuran itu sudah jauh melampaui batas-batas bela diri yang sewajarnya. Bahkan bila upaya-upaya itu, yang sudah tersedia dalam persenjataan bangsa-bangsa yang besar, digunakan sepenuhnya, akan timbul pembantaian hampir total dan timbal balik antara kedua pihak yang bertempur, tidak terhitung banyaknya kehancuran di dunia serta akibat-akibat fatal yang timbul dari penggunaan senjata-senjata itu.

Itu semua mendesak kita untuk menilai perang dengan pandangan yang baru sama sekali[166]. Hendaknya orang-orang jaman sekarang, bahwa akan harus memberi pertanggungjawaban yang berat atas kegiatan-kegiatan perangnya. Sebab dari keputusan-keputusan mereka sekarang ini akan banyak tergantunglah kelangsungan masa depan.

Memperhatikan itu semua Konsili ini memulai kecaman-kecaman terhadap perang total yang telah di lontarakan oleh Paus-Paus terakhir[167], dan menyatakan :

Semua kegiatan perang, yang menimbulkan penghancuran kota-kota seluruhnya atau daerah-daerah luas beserta semua penduduknya, merupakan tindak kejahatan melawan Allah dan manusia sendiri, yang harus di kecam dengan keras dan tanpa ragu-ragu.

Bahaya istimewa perang zaman sekarang yakni: bagi mereka, yang memiliki senjata teknologi tinggi mutakhir, terbuka kesempatan menjalankan tindak-tindak kejahatan semacam itu; lagi pula, karena suatu reaksi beruntun, perang itu dapat mendorong manusia ke arah keputusan-keputusan yang paling mengerikan. Supaya itu di masa depan jangan pernah lagi terjadi, para Uskup seluruh dunia yang sedang bersidang dengan sangat memohon siapa saja, terutama para negarawan serta para panglima angkatan bersenjata, supaya tiada hentinya merenungkan sungguh-sungguh tanggung jawab besar itu di hadirat Allah dan di hadapan semua manusia.

81. (Perlombaan senjata)

Senjata teknologi tinggi bukan hanya ditimbun untuk digunakan dalam perang. Sebab, karena kekuatan pertahan masing-masing pihak dianggap tergantung dari kemampuan untuk dengan cepat menghalau lawan, penimbunan senjata itu, yang dari tahun ke tahun terus meningkat, secara paradoksal dimaksudkan untuk menakut-nakuti musuh-musuh yang mungkin muncul. Oleh banyak orang itu dipandang sebagai upaya yang paling efektif untuk sekarang ini melestarikan semacam “perdamaian” internasional.

Apa pun mau dikatakan tentang metode menakut-nakuti itu, hendaknya semua orang menyadari, bahwa perlombaan senjata, yang kini sudah ditempuh oleh cukup banyak negara, bukan merupakan jalan yang aman untuk dengan mantap melestarikan perdamaian, dan bahwa apa yang disebut “keseimbangan” yang dihasilkannya bukanlah perdamaian yang pasti dan sejati. Karenanya sebab-musabab perang bukannya disingkirkan, justru malahan lambat laun merupakan ancaman yang paling berat. Sementara untuk menyiapkan senjata yang selalu baru dibelanjakan harta-kekayaan yang berlimpah-ruah, sekian banyak malapetaka diseluruh dunia sekarang toh tidak dapat di sembuhkan sebagaimana harusnya. Olehnya pertikaian-pertikaian internasional tidak dapat sungguh diatasi secara mendasar, malahan bagian-bagian dunia lainnya ikut tertimpa. Maka perlulah di pilih cara-cara baru, yang berawal mula pada semangat yang diperbaharui, untuk menyingkirkan batu sandungan itu, pun supaya perdamaian yang sejati dapat dikembalikan kepada dunia, yang di bebaskan dari kegelisahan yang menekannya.

Oleh karena itu sekali lagi perlu ditegaskan: perlombaan senjata merupakan bencana yang paling mengerikan bagi umat manusia, dan melukai kaum miskin dengan cara yang mungkin dibiarkan begitu saja. Sangat di khawatirkan, jangan-jangan kalau perlombaan itu terus berlangsung, suatu ketika akan mendatangkan segala bencana yang fatal, yang upaya-upayanya kini sedang di sediakan.

Di peringatkan oleh bencana-bencana, yang sekarang ini telah dimungkinkan oleh manusia sendiri, marilah kita memanfaatkan jangka waktu yang masih tersedia bagi kita, untuk lebih menyadari tanggung jawab kita, serta menetukan cara-cara untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan kita melalui jalan yang lebih layak bagi manusia. Dengan mendesak penyelenggaraan ilahi meminta kita, supaya membebaskan diri dari perbudakan lama kepada perang. Sekiranya kita tidak bersedia menjalankan usaha-usaha itu, kita sudah tidak tahu lagi, akan sampai di manakah kita ini melalui jalan sesat yang terlajur kita tempuh itu.

82. (Larangan mutlak terhadap perang, dan kegiatan internasional untuk mencegah perang)

Jelaslah kita wajib berusaha, untuk sekuat tenaga menyiapkan masaknya perang mana pun juga atas persetujuan internasional dapat dilarang sama sekali. Tentu syaratnya ialah: supaya didirikan lembaga kewibawaan universal-universal, yang diakui oleh semua pihak, dan mempunyai kekuasaan efektif, agar supaya terjaminlah bagi semua orang keamanan, pelaksanaan keadilan, dan sikap menghormati hak-hak manusiawi. Akan tetapi, sebelum lembaga kewibawaan itu dapat didirikan, perlulah lembaga-lembaga internasional tertinggi yang ada sekarang mengadakan studi intensif tentang upaya-upaya yang efektif untuk mewujudkan situasi semesta yang aman. Perdamaian pertama-tama harus diciptakan berdasarkan kepercayaan timbal balik antara bangsa-bangsa, tidak dipaksakan kepada negara-negara melalui persenjataan yang menakutkan. Maka semua pihak wajib mengusahakan, supaya perlombaan senjata akhirnya dihentikan; supaya pengurangan sejata sungguh di mulai, tidak sepihak melulu, melainkan hendaknya dijalankan serentak oleh semua pihak berdasarkan perjanjian, di sertai jaminan-jaminan yang kuat dan efektif[168].

Sementara itu hendaknya jangan diremehkan usaha-usaha yang sudah dan sedang dijalankan, untuk menangkal bahaya perang. Seyogyanya di dukunglah kehendak baik sekian banyak orang, yang karena jabatan tinggi mereka menanggung beban berat keprihatinan yang mendalam, tetapi terdorong oleh besarnya tanggung jawab mereka, berusaha mencegah perang yang begitu mereka khawatirkan, kendati tidak mungkin mengalihkan perhatian dari rumitnya permasalahan seperti adanya sekarang. Perlulah Allah di mohon dengan sungguh, supaya berkenan mengurniai mereka kekuatan untuk dengan tabah memulai dan dengan tekun melanjutkan karya kasih mulia terhadap sesama itu, yakni dengan gagah perkasa membangun perdamaian. Sudah pasti sekarang itu menuntut, agar mereka memperluas cakarawala hati dan budi melampaui batas negara mereka sendiri, menanggalkan egoisme nasional dan ambisi menguasai bangsa-bangsa lain, serta memupuk sikap hormat yang mendalam terhadap seluruh umat manusia, yang dengan banyak jerih payah sudah melangkah maju ke arah kesatuan semakin erat.

Tentang masalah perdamaian dan perlucutan senjata telah diadakan dengan giat penelitian-penelitian yang tetap dilanjutkan dengan tekun, begitu pula kongres-kongres internasional, yang membahasnya sebagai langkah-langkah pertama menuju pemecahan soal-soal seberat itu. Usaha-usaha itu di masa mendatang perlu dikembangkan secara lebih intensif untuk mencapai hasil-hasil yang praktis. Kendati begitu hendaknya masyarakat menjaga, supaya jangan melulu mengandalkan usaha-usaha beberapa pihak saja, tanpa menghiraukan sikap mental mereka sendiri. Sebab para negarawan yang bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa mereka sendiri dan sekaligus ikut memajukan kesejahteraan seluruh dunia, sangat tergantung dari pandangan-pandangan dan sikap mental khalayak ramai. Tidak ada gunanya mereka bersusah payah membangun perdamaian, selama permusuhan, penghinaan, sikap curiga, kebencian “rasial” dan ideologi-ideologi yang tegar memecah belah rakyat dan menimbulkan pertentangan. Maka mendesak sekalilah kebutuhan akan pendidikan sikap mental yang diperbaharui dan akan inspirasi baru terhadap pandangan umum. Mereka yang membaktikan diri dalam karya pendidikan, terutama pembinaan generasi muda, atau berusaha membentuk pandangan umum, hendaknya menganggap sebagai kewajiban yang berat sekali membangkitkan pada semua orang mentalitas baru yang ditandai cinta damai. Kita semua pun perlu merombak sikap hati kita, mengarahkan pandangan ke seluruh dunia dan memperhatikan tugas-tugas, yang dapat kita jalankan bersama, untuk menjalankan kesejahteraan umat manusia.

Jangan pula harapan semua mengelabui kita. Sebab kalau permusuhan dan kebencian tidak di singkirkan, dan di masa mendatang tidak diadakan perjanjian-perjanjian yang andal dan jujur tentang perdamaian semesta, barangkali umat manusia, yang kini sudah berada dalam bahaya besar, kendati berbekalkan ilmu pengetahuan yang mengagumkan, akan hanyut ke arah yang fatal, yakni saatnya tidak ada kedamaian lain lagi yang dialaminya, kecuali kedamaian maut yang mengerikan. Akan tetapi, sementara mengemukakan itu semua, Gereja Kristus, yang berada ditengah kecemasan zaman sekarang, tiada hentinya berpengharapan sangat teguh. Gereja bermaksud setiap kali, entah amanatnya diterima atau tidak, mengulang-ulangi pesan Rasul: “lihat, sekarang inilah waktu yang berkenan kepada Allah” untuk pertobatan hati, “sekarang inilah hari penyelamatan”[169].

ARTIKEL DUA – PEMBANGUNAN MASYARAKAT INTERNASIONAL

83. (Sebab-musabab perpecahan dan cara mengatasinya)

Untuk membangun perdamaian pertama-tama diisyaratkan, supaya dicabutlah sebab-musabab perpecahan antar manusia, yang menimbulkan perang, terutama tindakan-tindakan melawan keadilan. Tidak sedikit antaranya bersumber pada ketimpangan-ketimpangan ekonomi yang sudah keterlaluan, pun juga pada terlambatnya usaha yang dibutuhkan untuk mengatasinya. Ada pula yang timbul dari nafsu untuk menguasai dan sikap menghina sesama, dan – kalau kita cari sabab-musababnya yang lebih dalam – dari iri hati, sikap curiga, kesombongan, dan nafsu-nafsu egois lainnya. Karena manusia tidak tahan menanggung sekian banyak kekacauan, maka akibatnya ialah, bahwa – meskipun sedang tidak ada perang – dunia terus-menerus ditimpa oleh persaingan-persaingan antar manusia dan oleh tindakan-tindakan kekerasan. Selain itu, karena kekacauan itu terdapat juga dalam hubungan-hubungan internasional, maka mutlak perlulah, bahwa untuk mengatasi atau mencegahnya, dan untuk mengendalikan tindakan-tindakan kekerasan yang tidak terkekang, lembaga-lembaga internasional bekerja sama dan dikoordinasi secara lebih baik dan lebih mantap, pun juga tiada jemunya di dorong pembentukan lembaga-lembaga, yang memajukan perdamaian.

84. (Persekutuan bangsa-bangsa dan lembaga-lembaga internasional)

Zaman sekarang ini makin meningkat dan kian eratlah hubungan-hubungan timbal balik antara semua warga negara dan sekalian bangsa di dunia. Maka, supaya kesejahteraan umum bagi seluruh dunia diusahakan dengan upaya-upaya yang memadai dan tercapai secara lebih efektif, sudah perlulah persekutuan bangsa-bangsa membentuk suatu struktur, yang cocok untuk tugas-tugas masa kini, terutama sehubungan dengan daerah-daerah luas sekali, yang masih menderita kemiskinan, yang tak boleh dibiarkan berlarut-larut.

Untuk mencapai tujuan itu lembaga-lembaga masyarakat internasional harus berusaha memenuhi pelbagai kebutuhan umat manusia menurut fungsi masing-masing, baik di bidang-bidang kehidupan sosial, termasuk nafkah hidup, kesehatan, pendidikan, dan kerja, maupun dalam pelbagai situasi khusus, yang dapat timbul entah di mana, misalnya kebutuhan umum negara-negara yang sedang berkembang untuk meningkatkan pembangunan, kebutuhan untuk meringankan beban penderitaan kaum pengungsi yang tersebar di seluruh dunia, pun juga untuk membantu kaum emigran beserta keluarga-keluarga mereka.

Lembaga-lembaga internasional, untuk seluruh dunia maupun yang bersifat regional, yang sudah ada sekarang, jelaslah berjasa besar bagi umat manusia. Lembaga-lembaga itu tampil sebagai usaha-usaha pertama untuk meletakkan dasar-dasar internasional bagi segenap masyarakat manusia, guna memecahkan masalah-masalah amat berat zaman sekarang, yakni: mendukung kemajuan seluruh dunia, dan mencegah perang dalam bentuk mana pun juga. Di segala bidang itu Gereja bergembira tentang mekarnya semangat persaudaraan yang sejati antara umat kristen dan umat bukan kristen, yang kesemuanya mengusahakan, agar dijalankan usaha-usaha semakin intensif untuk meringankan penderitaan yang tiada hingganya.

85. (Kerja sama internasional di bidang ekonomi)

Solidaritas umat manusia sekarang ini juga menurut penggalangan kerja sama internasional yang lebih erat di bidang ekonomi. Sebab, meskipun hampir semua bangsa sudah merdeka, mereka jauh belum terluputkan dari ketimpangan-ketimpangan yang keterlaluan dan dari segala bentuk ketergantungan yang tidak wajar, dan jauh belum terhindarkan dari segala bahaya persoalan-persoalan intern yang berat.

Perkembangan suatu bangsa tergantung dari sumber-sumber manusiawi dan keuangan. Para warganegara setiap bangsa perlu disiapkan melalui pendidikan dan pembinaan kejuruan untuk menjalankan pelbagai tugas dibidang ekonomi dan sosial. Untuk itu diperlukan bantuan pakar-pakar mancanegara, yang sementara memberi pertolongan tidak berlagak menguasai, melainkan bertindak sebagai penolong dan rekan sekerja. Bantuan materiil tidak akan berguna bagi bangsa-bangsa yang sedang berkembang, kalau aturan-aturan permainan dalam perdagangan di dunia zaman sekarang tidak di ubah dengan secara mendalam. Kecuali itu harus diberikan bantuan-bantuan lain oleh bangsa-bangsa yang sudah maju berupa hibah-hibah, pinjaman-pinjaman atau investasi-investasi. Hendaknya di satu pihak itu semua diberikan dengan kebesaran hati dan tanpa pamrih, dan di lain pihak diterima secara terhormat.

Untuk mewujudkan tata ekonomi yang sejati bagi seluruh dunia perlu dikesampingkan usaha-usaha yang berlebihan untuk mendapatkan keuntungan, ambisi-ambisi nasional, aspirasi akan dominasi politik, perhitungan-perhitungan militarisme, lagi pula tipu muslihat untuk menyiarkan dan memaksakan ideologi-ideologi. Disajikan banyak sistim ekonomi dan sosial. Di himbau supaya di bidang itu para pakar menemukan dasar-dasar umum bagi perdagangan dunia yang sehat. Itu akan lebih mudah tercapai, bila masing-masing pihak menanggalkan prasangka-prasangkanya, dan siap-sedia untuk menjalin dialog yang jujur.

86. (Beberapa pedoman yang sesuai untuk zaman sekarang)

Untuk meningkatkan kerja sama itu kiranya pedoman-pedoman berikut akan berguna:

a) Hendaknya bangsa-bangsa yang sedang berkembang sungguh memperhatikan, supaya secara jelas dan tegas mereka canangkan sebagai tujuan pembangunan ialah : penyempurnaan manusiawi yang seutuhnya bagi para warganegara. Hendaknya mereka sadari, bahwa sumber serta dinamisme pembangunan terutama terletak pada jerih-payah dan bakat-kemampuan bangsa sendiri; sebab pembangunan tidak boleh hanya mengandalkan sumber-sumber dari luar saja, melainkan pertama-tama harus di dasarkan pada pembangunan sepenuhnya sumber-sumber milik sendiri dan pada pemekaran kebudayaan serta tradisi mereka sendiri. Dalam hal itu, yang berpengaruh cukup besar terhadap sesama, seharusnya menjadi panutan.

b) Bagi bangsa-bangsa yang sudah maju merupakan kewajiban sangat berat: membantu bangsa-bangsa yang sedang berkembang untuk menunaikan tugas-tugas yang tadi di sebutkan. Maka dari itu hendaknya mereka menyesuiakan diri di bidang mental dan materiil, seperti memang dibutuhkan untuk mewujudkan kerja sama universal itu

Demikianlah dalam perdagangan dengan negara-negara yang lebih lemah dan lebih miskin hendaknya sungguh diperhatikan kesejahteraan mereka itu. Sebab mereka membutuhkan penghasilan, yang mereka peroleh dengan memasarkan hasil produksi mereka sendiri, untuk menanggung kehidupan mereka.

c) Merupakan tugas masyarakat internasional: mengkoordinasi dan mendorong pembangunan sedemikian rupa, sehingga sumber-sumber yang diperuntukkan baginya dimanfaatkan seefektif mungkin dan secara merata sewajar mungkin. Masyarakat internasional bertugas juga, tentu dengan mengindahkan asas solidaritas, mengatur jaringan ekonomi dunia, sehingga berkembang menurut prinsip keadilan.

Hendaknya dibentuk lembaga-lembaga yang berfungsi dengan baik, untuk memajukan dan mengurusi perdagangan interasional, terutama dengan bangsa-bangsa yang belum begitu berkembang, dan untuk mengganti kerugian-kerugian, yang bersumber pada ketidak-seimbangan kekuatan yang terlampau mengguncangkan antara bangsa-bangsa. Pengaturan itu, disertai bantuan-bantuan di bidang teknologi, kebudayaan dan finansial, yang harus menyediakan bantuan-bantuan yang sungguh dibutuhkan bagi bangsa-bangsa yang sedang berkembang, supaya mereka mampu mewujudkan secara harmonis pembangunan mereka di bidang ekonomi.

d) Dalam banyak situasi mendesaklah kebutuhan meninjau kembali struktur-struktur sosial ekonomi. Tetapi jangan diajukan pemecahan-pemecahan teknis yang belum masak, terutama yang memang menyediakan keuntungan-keuntungan materiil, akan tetapi bertentangan dengan kodrat rohani manusia serta perkembangannya. Sebab “manusia hidup bukan dari roti saja, melainkan dari setiap sabda yang keluar dari mulut Allah” (Mat 4:4). Setiap bagian keluarga manusia dalam dirinya dan tradisi-tradisinya yang terbaik membawa serta sebagian kekayaan rohani, yang oleh Allah dipercayakan kepada umat manusia, sungguh pun banyak orang tidak tahu-menahu tentang sumbernya.

87. (Kerja sama internasional sehubungan dengan pertambahan penduduk)

Sungguh perlu sekalilah kerja sama internasional berkenaan dengan bangsa-bangsa, yang zaman sekarang ini, di samping menghadapi sekian banyak kesukaran lainnya, cukup sering dan teristimewa dibebani oleh kesulitan yang timbul dari pesatnya laju pertambahan penduduk. Sungguh mendesaklah kebutuhan, untuk melalui kerja sama sepenuhnya dan intensif antara semua bangsa, terutama bangsa-bangsa yang lebih kaya, diadakan penjajagan, bagaimana semuanya, yang diperlukan bagi kehidupan dan pendidikan masyarakat yang semestinya, dapat disediakan dan dibagikan dengan segenap masyarakat manusia. Beberapa bangsa sebenarnya mampu menciptakan kondisi-kondisi hidup yang jauh lebih baik, seandainya berbekalkan pendidikan yang selayaknya, beralih dari metode-metode bercocok-tanam yang kuno kepada tehnik-tehnik yang baru, dengan menerapkannya pada situasi mereka dengan kearifan seperti semestinya, sementara selain itu tata sosial diperbaiki, dan pembagian pemilikan tanah di atur secara lebih adil.

Pemerintah mempunyai hak-hak maupun kewajiban-kewajibannya mengenai masalah kependudukan dalam negaranya, dalam batas-batas kewenangannya; misalnya: mengenai perundang-undangan sosial, juga yang menyangkut hidup berkeluarga, mengenai perpindahan penduduk desa ke kota-kota, mengenai penyuluhan tentang keadaan dan kebutuhan-kebutuhan bangsa. Karena sekarang ini pemikiran orang begitu banyak berkisar masalah itu, maka dihimbau juga, supaya tentang kesemuanya ini para pakar katolik pun, terutama dikalangan universitas, dengan segala keahlian mereka mengadakan studi dan usaha-usaha serta makin mengembangkannya.

Banyak orang berpandangan, bahwa pertambahan penduduk dunia, atau setidak-tidaknya di negara-negara tertentu, sungguh perlu dikurangi secara radikal melalui segala upaya dan segala macam campur tangan pemerintah. Menanggapi arus itu, Konsili menyerukan kepada semua orang, supaya jangan menempuh cara-cara pemecahan, yang secara umum atau oleh pihak-pihak tertentu dianjurkan atau kadang-kadang diharuskan, dan yang bertentangan dengan hukum moral. Sebab menurut hak manusia yang tak dapat di ganggu-gugat atas perkawinan dan pengadaan keturunan, pertimbangan tentang jumlah anak tergantung dari keputusan orang tua yang benar, dan sama sekali tidak dapat di serahkan kepada keputusan pemerintah. Tetapi karena keputusan orang tua mengandaikan suara hati yang terbentuk dengan tepat, maka penting sekalilah, bahwa bagi semua orang terbuka kesempatan untuk mengembangkan kesadaran bertanggung jawab yang cermat dan sungguh manusiawi, serta mengindahkan hukum ilahi, sambil mempertimbangkan situasi setempat dan semasa. Hal itu menuntut, agar di mana-mana kondisi-kondisi pendidikan dan sosial diperbaiki, dan terutama agar pembinaan keagamaan atau sekurang-kurangnya pengajaran di bidang moral diberikan seutuhnya. Selanjutnya hendaklah orang-orang dengan bijaksana diberi penyuluhan tentang kemajuan-kemajuan ilmiah dalam meneliti metode-metode yang dapat membantu suami-isteri dalam mengatur jumlah keturunan, dan yang keandalannya cukup teruji, lagi pula keselarasannya dengan tata moral sudah dipastikan.

88. (Peranan umat kristen dalam pemberian bantuan)

Untuk membangun tata masyarakat internasional, yang ditandai oleh penghargaan yang nyata terhadap pokok-pokok kebebasan yang wajar serta persaudaraan akrab semua warganya, hendaknya umat kristen dengan sukarela dan seutuh hati menyumbangkan kerja samanya. Itu nampak semakin mendesak, karena sebagian besar sedunia masih menderita kemelaratan begitu parah, sehingga dalam diri kaum miskin Kristus sendiri seolah-olah dengan suara lantang mengundang para murid-Nya untuk mengamalkan cinta kasih. Maka dari itu jangan sampai orang-orang terbentur pada batu sandungan, yakni: bahwa beberapa negara, yang sering mayoritas penduduknya beragama kristen, melimpah harta kekayaannya, sedangkan negara-negara lain tidak mendapat apa yang sungguh mereka butuhkan untuk hidup, dan tersiksa oleh penyakit-penyakit serta segala macam penderitaan. Sebab semangat kemiskinan dan cinta kasih merupakan kemuliaan dan kesaksian Gereja Kristus.

Maka layak di puji dan di dukunglah orang-orang kristen, terutama kaum muda, yang dengan sukarela menyediakan diri untuk menolong sesama dan bangsa-bangsa lain. Bahkan merupakan panggilan segenap Umat Allah, untuk mengikuti pesan maupun teladan para Uskup, sekedar kemampuan mereka meringankan penderitaan zaman sekarang, itupun – menurut kebiasaan kuno dalam Gereja – bukan saja kelebihan dari milik mereka, melainkan juga dari apa yang sungguh masih mereka butuhkan sendiri.

Hendaknya cara mengumpulkan dan membagikan bantuan, tanpa diurus dengan kaku dan seragam, toh diatur dengan cermat di keuskupan-keuskupan, di negara-negara dan seluruh dunia, dan – di mana pun itu dianggap baik – secara terpadu antara kegiatan umat katolik dan saudara-saudara kristen lainnya. Sebab Roh cinta kasih tidak melarang pelaksanaan kegiatan sosial dan karikatif yang bijaksana dan teratur, justru malahan mewajibkannya. Oleh karena itu perlulah mereka, yang bermaksud membaktikan diri untuk melayani negara-negara yang sedang berkembang, mengalami pembinaan yang cocok juga dalam lembaga-lembaga yang mengkhususkan diri bagi pengabdian itu.

89. (Kehadiran Gereja yang efektif dalam masyarakat internasional)

Berdasarkan perutusan ilahinya Gereja mewartakan Injil serta menyalurkan kekayaan rahmat kepada semua orang. Di mana-mana Gereja berperan serta mengukuhkan perdamaian dan meletakkan dasar yang tangguh bagi persekutuan persaudaraan antar manusia dan antar bangsa, yakni: pengertian akan hukum ilahi dan kodrati. Oleh karena itu dalam masyarakat bangsa-bangsa Gereja sungguh-sungguh harus hadir, untuk mendukung dan membangkitkan kerja sama antar manusia. Itu terjadi melalui lembaga-lembaganya yang bersifat umum, maupun melalui kerja sama segenap umat kristen yang sepenuhnya dan dengan tulus hati, dan diilhami melulu oleh keinginan untuk melayani semua orang.

Maksud itu akan tercapai secara lebih efektif, bila umat beriman sendiri, penuh kesadaran akan tanggung jawab mereka sebagai manusia dan orang kristen, dalam lingkungan hidup mereka sendiri berusaha membangkitkan kemauan untuk siap-siaga bekerja sama dengan masyarakat internasional. Dalam hal itu hendaknya perhatian istimewa dicurahkan kepada pembinaan kaum muda, dalam pendidikan agama maupun kewarganegaraan.

90. (Peranan orang-orang kristen dalam lembaga-lembaga internasional)

Bagi orang-orang kristen suatu bentuk kegiatan internasional yang berharga sekali sudah barang tentu ialah sumbangan tenaga, yang entah sebagai perorangan entah secara kolektif. Mereka memberikan dalam lembaga-lemabga, yang sudah atau masih perlu didirikan untuk meningkatkan kerja sama internasional. Kecuali itu dalam pembangunan persekutuan bangsa-bangsa, yang di tandai perdamaian dan persaudaraan, pelayanan melalui pelbagai cara dapat diberikan oleh pelbagai perserikatan katolik internasional, yang perlu makin di mantapkan, dengan ditambahkannya jumlah rekan-rekan kerja yang dibina dengan baik, bantuan yang mereka butuhkan, dan koordinasi tenaga-tenaga yang selaras. Sebab zaman sekarang ini baik efektifnya kegiatan-kegiatan maupun kebutuhan akan musyawarah memerlukan usaha-usaha bersama. Lagi pula perserikatan-perserikatan semacam itu bukannya sedikit sumbangannya untuk memupuk minat-perhatian yang terbuka bagi seluruh umat manusia, yang pasti tidak asing bagi umat katolik, pun juga membina kesadaran akan solidaritas serta tanggung jawab yang sungguh bersifat universal.

Akhirnya dihimbau, supaya orang-orang katolik, untuk menunaikan tugas mereka dalam masyarakat internasional sebagaimana mestinya, berusaha bekerja sama secara aktif dan positif, baik dengan saudara-saudari terpisah, yang bersama mereka bermaksud menghayati cinta kasih Injil, maupun dengan sekalian orang yang mendambakan perdamaian sejati.

Adapun Konsili, seraya mengindahkan penderitaan-penderitaan tiada hingganya, yang sekarang pun masih menyiksa mayoritas umat manusia, lagi pula untuk di mana-mana memupuk keadilan maupun cinta kasih Kristus terhadap kaum miskin, memandang sangat pada tempatnya mendirikan suatu lembaga universal Gereja, yang misinya ialah mendorong persekutuan umat katolik, supaya kemajuan daerah-daerah yang miskin serta keadilan internasional ditingkatkan.

PENUTUP

91. (Tugas setiap orang beriman dan Gereja-Gereja khusus)

Apa saja, yang oleh Konsili ini di hidangkan dari khazanah ajaran Gereja, dimaksudkan untuk membantu orang zaman sekarang, entah mereka beriman akan Allah, entah tidak mengakui-Nya secara eksplisit. Tujuannya: supaya mereka lebih jelas memahami panggilan mereka seutuhnya, lebih menyelaraskan dunia dengan martabat manusia yang amat luhur, menghendaki persaudaraan universal dengan dasar yang lebih mendalam, dan atas dorongan cinta kasih, melalui usaha terpadu terdorong oleh kebesaran jiwa, menanggapi tuntutan-tuntutan masa kini yang memang mendesak.

Benarlah, menghadapi kemacam-ragaman situasi maupun pola kebudayaan dunia, penyajian ini dalam cukup banyak bagiannya sengaja menampilkan sifat serba umum, bahkan, meskipun sekedar menguraikan ajaran yang sudah diterima dalam Gereja, tetapi, karena yang dibahas ialah hal-hal yang terus menerus mengalami perkembangan, ajaran itu masih akan perlu diteruskan dan diperluas. Tetapi kami percaya, bahwa banyak hal, yang kami utarakan bertumpu pada sabda Allah dan semangat Injil, dapat merupakan bantuan yang andal bagi semua orang, terutama sesudah penerapannya pada masing-masing bangsa dan pola berpandangan dijalankan oleh umat kristen di bawah bimbingan para Gembala.

92. (Dialog antara semua orang)

Berdasarkan misinya menyinari seluruh dunia dengan amanat Injil, serta menghimpun semua orang dari segala bangsa, suku dan kebudayaan ke dalam satu Roh, Gereja menjadi lambang persaudaraan, yang memungkinkan serta mengukuhkan dialog dari ketulusan hati.

Itu menyaratkan, supaya pertama-tama dalam Gereja sendiri kita mengembangkan sikap saling menghargai dan menghormati serta kerukunan, dengan mengakui segala kemacam-ragaman yang wajar, untuk menjalin dialog yang makin subur antara semua anggota yang merupakan satu Umat Allah, baik para gembala maupun umat beriman lainnya. Sebab lebih kuatlah unsur-unsur yang mempersatukan umat beriman daripada yang menggolong-golongkan mereka. Hendaknya dalam apa yang sungguh perlu ada kesatuan, dalam apa yang diragukan kebebasan, dalam segala sesuatu cinta kasih[170].

Tetapi hati sekaligus merangkul saudara-saudari, yang belum hidup dalam persekutuan sepenuhnya bersama kita, beserta jemaat-jemaat mereka, sedangkan kita sudah bersatu dengan mereka karena pengakuan iman kita akan Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan karena ikatan cinta kasih, sementara kita mengingat juga bahwa kesatuan umat kristen sekarang ini juga diharapkan dan diinginkan oleh banyak orang yang tidak beriman akan Kristus. Sebab semakin kesatuan itu, berkat besarnya kekuatan Roh Kudus, akan bertumbuh dalam kebenaran dan cinta kasih, semakin akan menjadi pralambang pula bagi kesatuan dan perdamaian bagi seluruh dunia. Maka dengan berpadu tenaga, dan dalam bentuk-bentuk yang kian memadai untuk sekarang ini secara efektif mewujudkan tujuan yang mulia itu, marilah kita berusaha supaya, sementara dari hari ke hari makin hidup menurut Injil, kita bekerja sama secara persaudaraan, untuk mengabdikan diri kepada keluarga manusia, yang dalam Kristus Yesus dipanggil menjadi keluarga anak-anak Allah.

Hati kita selanjutnya kita arahkan juga kepada semua orang yang mengakui Allah, dan dalam tradisi-tradisi mereka melestarikan unsur-unsur religius dan manusiawi. Yang kita harapkan ialah, semoga dialog yang terbuka mengajak kita sekalian, untuk dengan setia menyambut dorongan-dorongan Roh, serta mematuhinya dengan gembira.

Kerinduan akan dialog seperti itu, yang hanya dibimbing oleh cinta akan kebenaran, tentu sementara tetap berlangsung pula dalam kebijaksanaan sebagaimana mestinya, dari pihak kita tidak mengecualikan siapa pun, termasuk mereka, yang mengembangkan nilai-nilai luhur jiwa manusia, tetapi belum mengenal Penciptanya, begitu pula mereka, yang menentang Gereja dan dengan aneka cara menghambatnya. Karena Allah Bapa itu sumber segala sesuatu, kita semua dipanggil untuk menjadi saudara. Maka dari itu karena mengemban panggilan manusiawi dan ilahi yang sama itu, kita dapat dan memang wajib juga bekerja sama tanpa kekerasan, tanpa tipu muslihat, untuk membangun dunia dalam damai yang sejati.

93. (Membangun dunia dan mengarahkannya kepada tujuannya)

Sambil mengenangkan sabda Tuhan: “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kalian itu murid-murid-Ku, yakni bila kalian saling mengasihi” (Yoh 13:35), umat kristen tidak dapat menginginkan apa pun lebih sungguh-sungguh, dari pada untuk mengabdikan diri secara makin penuh dan efektif kepada sesama di dunia masa kini. Maka dari itu, sambil dengan setia bertumpu pada Injil dan bersandar pada kekuatannya, dan bersama dengan semua orang yang mencintai dan melaksanakan keadilan, mereka telah menyatakan bersedia untuk menjalankan karya agung di dunia ini, yang harus mereka pertanggung jawabkan terhadap Dia, yang pada hari terakhir akan mengadili semua orang. Tidak semua orang yang berseru “Tuhan, Tuhan!” akan memasuki Kerajaan Sorga, tetapi hanya merekalah, yang melaksanakan kehendak Bapa[171], dan dengan giat menyingsingkan lengan baju, Bapa menghendaki, agar dalam semua orang kita mengenali dan mencintai secara nyata Kristus Saudara kita, dengan kata-kata maupun tindakan, dan dengan demikian memberi kesaksian akan kebenaran, serta menyiarkan kepada sesama misteri cinta kasih bapa di Sorga. Dengan begitu semua orang di seluruh dunia akan dibangkitkan untuk menaruh harapan hidup, yang merupakan kurnia Roh Kudus, supaya akhirnya ditampung dalam damai dan kebahagiaan yang mulia, di tanah air yang bercahaya gemilang berkat kemuliaan Tuhan.

“Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja dalam kita, bagi Dialah kemuliaan di dalam jemaat dan dalam Kristus Yesus turun-temurun sampai selama-lamanya. Amin” (Ef 3:20-21).

Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Konstitusi ini berkenan kepada para Bapa Konsili. Dan Kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagipula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.

 

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 7 bulan Desember tahun 1965.

Saya PAULUS
Uskup Gereja Katolik